PENERAPAN ASAS LEGALITAS TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
OLEH
AHMAT,SHI.,LL.M
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa pemerintahan orde baru
banyak diduga terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross human right violation), seperti
tragedi Tanjung Priok di Jakarta, tragedi Talang Sari di Lampung, tragedi Timika
di Irian Jaya, tragedi Aceh serta yang terjadi di era reformasi, seperti
tragedi Ambon di Maluku, tragedi Sampit di Kalimantan Tengah, tragedi Poso di
Sulawesi Tengah dan kasus Timor Timur. Kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia tersebut telah memakan banyak korban jiwa dan diduga dilakukan tidak
saja oleh penguasa terhadap penduduk sipil, tetapi juga terjadi antara
sekelompok penduduk sipil dengan kelompok sipil lainnya.
Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak
dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa,
maka perlu dipahami bahwa Hak Asasi Manusia tersebut tidaklah bersumber dari
negara dan hukum, tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam
semesta beserta isinya, sehingga Hak Asasi Manusia itu tidak bisa dikurangi (non derogable right), oleh karena itu
yang diperlukan dari negara dan hukum adalah suatu pengakuan dan jaminan
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
Puncak keberhasilan perjuangan untuk
memperoleh pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia,
ditandai dengan lahirnya Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Asasi
Manusia., yang dikenal dengan “Universal
Declaration of Human Rights” pada tanggal 10 Desember 1948. Sejak saat itu
masalah Hak Asasi Manusia lebih terangkat menjadi perhatian dunia.
Pada akhirnya untuk menjamin hak-hak
asasi manusia, masyarakat internasional telah mencapai suatu kesepakatan di
Roma tahun 1998 yang disebut dengan “Statuta
Roma” yang mengatur tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) yang
berwenang untuk mengadili individu-individu yang melakukan pelanggaran HAM
berat.
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), yang di maksud dengan
pelanggaran HAM berat hanya meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan yang pengertiannya sama dengan apa yang diatur dalam Statuta Roma. Hak Asasi Manusia sebagai
suatu prinsip memang bersifet universal, dalam arti di mana saja dan kapan saja
harus tetap sama, namun sebagai suatu sistem nilai akan dipengaruhi oleh
keanekaragaman tata nilai, sejarah, kebudayaan, sistem politik, tingkat
pertumbuhan sosial dan ekonomi, budaya hukum (legal cultur), serta faktor-faktor lain yang dimiliki oleh manusia
yang bersangkutan.
Indonesia telah memberlakukan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang khusus berwenang mengadili
perkara-perkara pelanggaran HAM berat.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, pada prinsipnya tidak menganut asas retroaktif (berlaku
surut), maka Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak berwenang memeriksa dan memutus
perkara-perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi sebelum
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diundangkan (noella poena sine lege).
Namun berdasarkan Pasal 43
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, disebutkan pelanggaran hak asasi manusia
eerat yang terjadi sebelum diundangkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000,
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasai Manusia Ad Hoc dan berada pada
lingkungan peradilan umum.
Kita juga dapat melihat dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP mengenai asas legalitas, asas yang menentukan bahwa tidak ada
pidana jika tidak ditentukan lebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya
itu kita kenal dalam bahasa latin sebagai “nullum
delictikum nulla poena sine praevia lege poenali” (tidak ada pidana tanpa
peraturan lebih dahulu) Biasanya asas legalitas ini mengandung tiga pengertian
yaitu:
1.
Tidak ada
perbutan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2.
Untuk
menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3.
Aturan-aturan
hukum tidak berlaku surut (retroaktif).[1]
Diharapkan dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, para hakim dapat
memutus perkara secara obyektif dalam penanganan kasus Hak Asasi Manusia berat.
Pertanggung jawaban pidana tidak saja dapat dibebankan kepada pelaku atau yang membantu
melakukan, tetapi juga dapat dibebankan kepada komandan militer atau seseorang
yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer atau seseorang atasan
baik polisi maupun sipil lainnya, apabila tindak pidana yang dilakukan berada
dalam yuridiksi pengadilan Hak Asasi Manusia.
Penyelenggaraan Pengadilan HAM
berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang relatif baru masih banyak
memperoleh pendapat pro dan kontra dari berbagai kalangan ahli hukum tentang
apakah undang-undang tersebut memadai untuk penyelenggaran mengadili
pelanggaran-pelanggaran HAM sebagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat
Internasional pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya.
A. Konsepsi
Dasar dan Pengertian Hak asasi Manusia
Pandangan dan pemikiran mengenai
konsepsi hak asasi manusia sangat beragam dan kadangkala bertentangan satu sama
lain. Selama ini setidaknya dikenal tiga macam konsepsi tentang hak asasi
manusia, yang mana konsepsi tersebut sejalan dengan perkembangan pemikiran dan
perjuangan hak asasi manusia. “Tiga konsepsi hak asasi manusia tersebut adalah
konsepsi barat atau liberal, konsepsi sosialis, serta konsepsi dari dunia ketiga”.[2]
Dari ketiga konsepsi tersebut, di
dalam kenyataannya masing-masing masih terdapat perbedaan-perbedaan walaupun
perbedaan tersebut tidak begitu berarti, hanya dalam pelaksanaannya saja yang
kadang berbeda dalam penerapannya.
Konsepsi hak asasi manusia liberal merupakan reaksi keras terhadap
sistem pemerintahan, politik, sosial yang membatasi kebebasan manusia. Dengan
demikian konsep ini menekankan kebebasan individu dalam berperilaku tanpa campur
tangan dari pemerintah. Konsepsi paham liberal ini secara formal tercantum
dalam deklarasi kemerdekaan 13 negara koloni Amerika pada tahun 1776.[3]
Konsepsi hak asasi manusia liberal
yang menekankan kebebasan individu sangat penting bagi kehidupan manusia, akan
tetapi kebebasan individu yang terlalu bebas memungkinkan timbulnya keresahan
di dalam kehidupan bermasyarakat.
“Apa yang tercantum dalam deklarasi
kemerdekaan Amerika tersebut tidak jauh berbeda dari deklarasi Perancis tahun
1789 yang dikembangkan lebih luas oleh Marques de Lafayette”.[4]
Antara deklarasi kemerdekaan Amerika
dan deklarasi kemerdekaan Perancis pada intinya mengandung kesamaan mengenai
kebebasan manusia, akan tetapi berbeda dalam pengertian tentang penekanan
kewajiban terhadap masyarakat.
Konsep hak asasi manusia menurut
paham sosialis adalah konsep yang ditekankan sebagai kebalikan dari konsep
individualisme kaum liberal. Menurut Henskin yang dikutip oleh Todung Mulya
Lubis:
Makna hak asasi manusia pada paham sosialis tidak menekankan hak
terhadap masyarakat, tetapi menekankan kewajiban kepada masyarakat. Konsep kaum
sosialis lebih mendahulukan kesejahteraan dari pada kebebasan, atau
mendahulukan hak-hak ekonomi dari pada hak-hak sipil atau politik. Bagi kaum
sosialis atau komunis, konsep kebebasan dan gagasan hak asasi manusia
didefinisikan oleh pemikir pada abad pencerahan dan ideologi revolusi Prancis
yang merupakan ekspresi dari masyarakat.[5]
Menurut kaum sosialis, hak asasi
manusia merupakan pemberian penguasa dan bukan bersumber dari hukum alam.
Penguasa yang menentukan apakah seorang patut mendapatkan hak atau tidak.
Konsepsi hak asasi manusia dunia ke-tiga,
menekankan pentingnya hak mengurus negaranya sendiri dan kebebasan untuk
berkelompok menurut tradisi, serta perlindungan terhadap tradisi tersebut.
Konsepsi ini muncul bersamaan dengan gencarnya perjuangan untuk melepaskan diri
dari penjajahan yang dilakukan negara Barat, khususnya di negara-negara Afrika
dan Asia .
Meski banyak pihak menyikapi secara
berbeda, tetapi ada hal-hal mendasar yang juga menjadi kesepakatan umum tentang
hak asasi manusia. Burns H. Winston dalam bukunya mengatakan: “Walaupun pada
taraf domestik dan internasional hak-hak asasi manusia diterima secara luas,
bukan berarti mengatakan bahwa sifat dari hak-hak semacam itu atau ruang
lingkup substantif mereka, yakni definisinya, disetujui semua”.[6]
Definisi yang berbeda itu mencakup
apakah hak asasi manusia tersebut merupakan pemberian atau anugerah Illahi,
pemberian negara atau bahkan karena manusia itu mahluk mulia, sehingga hak-hak
tersebut dengan sendirinya telah melekat padanya.
Frans Magnis Suseno menyatakan bahwa:
“Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan
kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku,
tetapi berdasarkan martabatnya sebagai manusia”.[7]
Pengertian yang diberikan oleh Frans
Magnis Suseno tersebut akan dapat mempunyai arti yang penting apabila bisa
dikembangkan di negara dunia ke-tiga, seperti di Indonesia .
John E. Howards berargumentasi bahwa:
“Hak asasi manusia itu universal karena memang harus universal, dan manusia
berhak memilikinya karena dia manusia, dan tidak seorangpun boleh diingkari hak
asasi manusianya tanpa peraturan hukum yang adil”.[8]
Di samping argumen yang menyatakan
bahwa hak asasi manusia itu universal, ada juga yang menyatakan hak asasi
manusia itu relatif. Menurut Frans Magnis Suseno, relativitas hak asasi manusia
dapat diukur dari 2 (dua) sudut:
1.
Rumusan
konkret hak asasi manusia hanya mungkin sesuai dengan yang dioperasikannya,
sehingga rumusan konkret tersebut tidak pernah sempurna.
2.
Bahwa dan
bagaimana suatu rumusan martabat manusia dianggap perlu dirumuskan sebagai hak
asasi selalu menunjuk pada sistem kekuasaan atau struktur budaya tertentu. Di luar
itu hak-hak asasi manusia tidak akan dimengerti dalam maksud sebenarnya, atau
bahkan dianggap sebagai gangguan.[9]
Kendati terdapat kurangnya konsensus,
menurut Burns E. Winston, sejumlah pendapat yang diterima secara luas dan
saling berhubungan tampaknya membantu tugas pendefinisian hak-hak asasi
manusia. Burns H. Winston mencatat ada lima
pendapat yang bisa membantu pendifinisian hak asasi manusia yaitu:
Pertama, lepas dari asal-usul atas pembenaran pendapat, hak asasi
manusia dipahami sebagai mewakili tuntutan individu dan kelompok bagi
pembentukan dan pembagian kekuasaan, kekayaan dan nilai-nilai lain yang
berharga dalam proses komunitas terutama nilai penghormatan dan kesejahteraan
bersama dalam pencarian semua nilai yang logis. Akibatnya hak-hak asasi itu
mengimplikasikan tuntutan terhadap pribadi-pribadi atau lembaga-lembaga yang
menghalangi maksud dan tujuan untuk menilai legitimasi dari hukum dan tradisi.
Ke-dua, dengan mencerminkan berbagai keadaan pandangan-pandangan
dunia yang berbeda dan saling
bertentangan yang tidak dapat dihindari di dalam dan di antara proses-proses
nilai, hak asasi manusia mengacu kepada suatu konfirmasi dari tuntutan
nilai-nilai yang luas, mulai yang paling dapat diadili hingga yang paling
mengandung aspirasi. Hak asasi manusia memiliki sifat hukum dan moral yang
kadang-kadang tidak dapat dibedakan. Hak asasi manusia menyatakan yang “ada”
maupun yang “semestinya” dalam urusan-urusan manusia.
Ke-tiga, jika suatu hak ditetapkan sebagai hak asasi manusia, maka
pada intinya hak itu bersifat umum atau universal, dalam beberapa hal sama-sama
dimiliki oleh semua mahluk manusia di mana saja, termasuk dalam hal-hal
tertentu, bahkan yang belum lahir. Dalam perbedaan yang sebenarnya dengan “hak Illahi
para raja” dan konsepsi-konsepsi tentang hak-hak manusia yang lain semacam itu,
hak-hak asasi manusia meluas kepada setiap individu di bumi tanpa
diskriminisasi.
Ke-empat, kebanyakan tuntutan yang tegas mengenai hak-hak asasi
manusia dapat diargumentasikan “tidak semua” mengandung pembatasan bahwa
hak-hak asasi manusia dari setiap individu atau kelompok. Mengingat saling
ketergantungan ini, hak-hak asasi mausia kadang-kadang disebut hak-hak primer,
dan agak atau tidak masuk akal untuk memikirkan atau membicarakannya dengan
istilah-istilah yang lebih absolute.
Ke-lima, hak-hak asasi manusia biasanya dirumuskan sebagai mengacu
dalam arti yang samar-samar, kepada tuntutan-tuntutan yang “fundamental” yang
berbeda dari tuntutan atau”potensi” yang tidak esensial. Sesungguhnya sebagian
teori bergerak sedemikian jauh, sehingga membatasi hak-hak asasi manusia kepada
satu atau dua hak inti. Sebagai contoh, hak atas kehidupan atau hak atas
kebebasan berpeluang yang sama. Kecenderungannya adalah melepaskan atau
meniadakan keinginan belaka”.[10]
Dari pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya hak asasi manusia menginginkan adanya kebebasan
setiap individu untuk mendapatkan perlakuan yang sama, adil dan tidak
diskriminisasi tanpa mengesampingkan kepentingan umum dan diantara hak-hak yang
dimiliki oleh setiap individu dan hak yang dimiliki oleh kelompok tidak boleh saling
bertentangan.
1.
Bernard
Winscheid, mengartikan hak sebagai suatu kehendak yang dilengkapi dengan
kekuatan (macht) dan yang diberikan oleh
tertib hukum kepada yang bersangkutan.
2.
Van
Apeldorn, mengartikan hak sebagai suatu kekuatan (macht) yang diatur oleh hukum.
3.
L’mare, mengartikan
hak sebagai sesuatu ijin bagi yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu.
4.
Leon
Duguit, mengartikan hak adalah sebagai fungsi-fungsi sosial yang tidak semua manusia
mempunyai hak, sebaliknya tidak semua manusia menjalankan fungsi-fungsi sosial
(kewajiban) tertentu.[11]
Meskipun pendapat dari para pakar
hukum tersebut di atas berbeda-beda, namun pengertian hak itu sendiri selalu
melekat pada setiap individu manusia dan akan selalu ada pada setiap individu
manusia ataupun kelompok.
1.
Natural Right Theory,
menurut teori ini hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada seluruh umat
manusia, setiap saat dan di semua tempat, lantaran kodratnya sebagai manusia.
Hak asasi manusia itu pada pokoknya adalah, the
right to life, liberty and property. Menurut teori ini tidak diperlukan
pengakuan hak asasi manusia oleh siapapun juga, termasuk oleh pemerintah dan
sistem hukum, karena hak yang demikian ini bersifat universal. Pengakuan oleh
suatu lembaga membuat hak asasi manusia bersumber pada negara, sehingga
melecehkan sifatnya yang alami.
2.
Positivist Theory, menurut
teori ini, hak asasi manusia harus datang dari suatu tempat. Menurut penganut
teori ini hak adalah turunan hukum, dari hukum yang nyata datang hak yang
nyata, tetapi dari hukum yang khayal (hukum alam) datang hak yang khayal pula.
Hak manusia alami adalah nonsense,
hak asasi manusia harus diciptakan dan dianugerahkan oleh konstitusi atau
hukum.
3.
Cultural Relativist Theory,
menurut teori ini, teori hak asasi manusia alami dan penekanan tentang sifatnya
yang universal merupakan pemaksaan suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain
dan mereka menyebutnya “imperialisme kebudayaan”. Menurut teori ini tidak ada
hak yang disebut hak universal.[12]
Teori-teori tentang hak asasi manusia
di atas satu sama lain saling bertentangan sehingga konsep-konsep tersebut
tidak banyak mempengaruhi perkembangan hak asasi manusia di dunia. Konsep atau
teori tentang hak asasi manusia yang berkembang di dunia justru bersumber dari
adanya pendapat bahwa setiap manusia di dunia mempunyai kehendak masing-masing
tanpa harus mengesampingkan kepentingan umum.
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan tentang definisi hak asasi
manusia, yaitu:
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Dalam hak asasi manusia tersebut, ada
beberapa hak yang melekat pada diri manusia sejak dalam kandungan sampai ia
meninggal, sehingga setiap hak asasi yang dimiliki tersebut harus dihormati
adanya. Setiap bentuk pengingkaran terhadap hak asasi manusia berarti
mengingkari martabat manusia. Hak asasi manusia juga merupakan hak dasar yang
secara konkret melekat pada diri manusia, bersifat langsung dan universal. Oleh
karena itu hak tersebut harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak
boleh dikurangi, diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
Hak asasi manusia yang diakui pada
saat ini pada dasarnya mengacu pada hak asasi manusia yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights
yang merupakan Piagam Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
B. Sejarah
Perkembangan Hak Asasi Manusia
Banyak pengamat hak asasi manusia
mengatakan bahwa asal-usul sejarah hak asasi manusia dapat ditelusuri dari masa
Yunani dan Romawi Kuno. Pada waktu itu konsep hak asasi manusia tidak bisa
dilepaskan dari doktrin-doktrin hukum alam dari Yunani. Setelah abad
pertengahan, doktrin-doktrin hukum alam berkaitan erat dengan teori-teori
politik liberal mengenai hak-hak alamiah.
“Menurut Aristoteles dan juga Thomas
Aquinas, pada masa Yunani-Romawi dan abad pertengahan, doktrin hukum alam hanya
menganjurkan kewajiban-kewajiban, bahkan pada masa itu perbudakan mendapatkan
legitimasi yang kuat.”[13]
Dengan demikian pada masa itu konsep
atau pengertian hak asasi manusia belum terwujud dalam doktrin hukum mereka,
karena masih mengesampingkan ide-ide yang paling sentral tentang hak asasi
manusia, yaitu kemerdekaan dan persamaan.
Pada tahun 1215 para bangsawan sudah memaksa raja untuk memberikan Charta Libertutum yang melarang
penahanan, penghukuman dan perampasan benda dengan sewenang-wenang. Tahun 1679
menghasilkan pernyataan Habert Carpus,
suatu dokumen yang menetapkan bahwa orang yang ditahan harus dititipkan dalam
waktu tiga hari kepada seorang hakim dan diberitahu atas tuduhan apa ia
ditahan.[14]
Di dalam perkembangan hak asasi
manusia, nama John Locke tak bisa diabaikan. Locke berargumentasi secara rinci,
terutama dalam tulisan-tulisan yang berkaitan dengan revolusi tahun 1658 (Glorious revolutione):
1.
Bahwa
hak-hak asasi tersebut sudah jelas dengan sendirinya mengenai individu-individu
sebagai mahluk manusia (karena hak-hak asasi itu hadir dalam keadan alamiah
sebelum umat manusia menjadi masyarakat beradab).
2.
Bahwa yang
utama diantaranya adalah hak asasi atas kehidupan, kebebasan (kemerdekaan dari
pemerintah yang sewenang-wenang) serta hak milik.
3.
Bahwa
ketika menjadi beradab, umat manusia menyerahkan kepada negara hak untuk
menyelenggarakan hak-hak alamiah itu saja, bukan hak itu sendiri.
4.
Bahwa
kegagalan negara untuk menegakkan hak-hak alamiah yang dikhususkan itu (negara
sendiri berada di bawah kontrak untuk melindungi kepentingan para anggotanya)
menimbulkan suatu hak atas revolusi rakyat yang bertanggung-jawab.[15]
Gagasan Locke sangat berpengaruh
dalam abad 18 dan 19, terutama di daerah jajahan Inggris, di Amerika dan
Prancis, dan menjadi dasar filosofi liberalisme. “Revolusi Inggris tahun 1688
dan argumentasi-argumentasi Locke telah menyediakan alasan pembenar bagi
gelombang revolusioner yang pada waktu itu melanda barat, terutama Amerika
Utara dan Prancis.”[16]
Deklarasi kemerdekaan yang diproklamasikan
oleh ketiga belas koloni Amerika pada tanggal 4 Juli 1776 menyatakan:
Kami beranggapan bahwa kebenaran-kebenaran ini adalah nyata dengan
sendirinya, bahwa semua manusia diciptakan sederajat, bahwa mereka dikaruniai
oleh pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut, bahwa di
antara hak-hak ini adalah kehidupan, kebebasan serta mengenai kebahagiaan.[17]
Di Prancis, Margues de Lafayette juga
meniru pernyataan-pernyataan negara Inggris dan Amerika dalam deklarasi hak-hak
asasi manusia dan hak-hak warga negara pada 26 Agustus tahun 1789, dengan
menegaskan bahwa “manusia lahir tetap bebas dan sama di dalam hak”.[18]
Puncak dari pengakuan hak asasi
manusia tentu saja adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diterima
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 10 Desember 1948.
Perkembangan hak asasi manusia yang
sering dijadikan acuan oleh para ahli hukum adalah ajaran yang dikemukakan oleh
Karel Novak, seorang ahli hukum dari Perancis. Karel Novak seperti yang dikutip
Burn H. Winston membagi perkembangan hak asasi manusia menjadi tiga generasi:
- Generasi Pertama
Generasi pertama dari hak asasi
manusia adalah hak-hak sipil dan politik yang berasal dari teori-teori para
reformis abad ke-17 dan 18 yang berkaitan dengan revolusi-revolusi Inggris,
Amerika dan Prancis.
Dasar etis dari hak asasi manusia generasi pertama adalah tuntutan
agar otonomi setiap orang atau dirinya sendiri dihormati, karena keutuhan
manusia dalam kedaulatan atas dirinya sendiri merupakan dasar segala hak lain,
maka hak-hak sipil dan politik ini merupakan inti hak-hak asasi manusia.[19]
“Generasi pertama ini sering juga
disebut hak asasi negatif atau liberal, karena memang bersifat negatif (bebas
dari) dan menghilangkan intervensi pemerintah dalam kehidupan sipil dan politik
rakyat”.[20]
Hak-hak yang ada pada generasi pertama ini terutama tercantum dalam Pasal 2
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang meliputi:
Kebebasan dari bentuk-bentuk diskriminasi dan rasial yang setara,
hak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan pribadi, kebebasan dari perbudakan
dan kerja paksa, kebebasan dari penganiayaan dan perlakuan atas hukuman yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, kebebasan dari penangkapan
yang sewenang-wenang, penahanan atau pengasingan, hak atas peradilan yang adil
dan terbuka, kebebasan dari campur tangan dalam privasi dan korespondensi,
kebebasan untuk pindah dan bertempat tinggal, kebebasan berpikir, berhati
nurani dan beragama, kebebasan berpendapat dan berekspresi, kebebasan berkumpul
secara damai, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung atau
melalui pemilihan-pemilihan yang bebas.
“Konsep utama hak asasi manusia
generasi pertama adalah mengenai kebebasan yang melindungi individu. Hampir
setiap konsepsi dari negara-negara yang ada sekarang didominasi oleh konsepsi
hak asasi manusia generasi pertama ini.”[21]
- Generasi Ke-dua
Generasi ke-dua hak asasi manusia
berupa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang juga disebut hak asasi positif,
maksudnya berbalikan dari generasi pertama, yaitu menuntut prestasi-prestasi
tertentu dari negara dengan tujuan untuk memastikan partisipasi yang merata dalam
produksi dan distribusi nilai-nilai yang dikandung.
Hak asasi generasi ke-dua berasal terutama dari tradisi sosialis
yang terdapat di Prancis pada abad ke-19. Pada generasi kedua tersebut mengisaratkan
tanggapan terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan kapitalis dan
konsepsi kebebasan individual yang mendasarinya.[22]
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
diuraikan dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 27 Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia, seperti: Hak atas jaminan sosial, hak atas pekerjaan dan
proteksi terhadap pengangguran, hak untuk beristirahat dan bersenang-senang,
hak atas standar hidup yang layak bagi kesehatan dan kesejahteraan diri dan
keluarga, hak atas pendidikan, dan hak atas perlindungan produk ilmiah.
Hak asasi generasi kedua pada
dasarnya adalah tuntutan bagi persamaan sosial, terutama dengan menguatnya
desakan dari dunia ketiga di tingkat global untuk lebih memperhatikan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya.
- Generasi Ke-tiga
Generasi ke-tiga hak asasi manusia
adalah penggabungan dari konsepsi generasi pertama dan generasi ke-dua.
Generasi ke-tiga ini dikenal sebagai hak solidaritas. “Hak ini muncul sekitar
tiga dekade menjelang akhir abad ke-20. Latar belakang timbulnya generasi
ketiga hak asasi manusia ini adalah chauvinisme, primodialisme dan penindasan
kelompok minoritas”.[23]
Hak-hak yang ada pada generasi ke-tiga
tercantum dalam Pasal 28 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia., yang
menyatakan bahwa, “setiap orang berhak atas tatanan sosial dan internasional, karena
hak-hak asasi yang dinyatakan dalam deklarasi ini dapat diwujudkan sepenuhnya”.
Hak-hak tersebut meliputi hak atas penentuan nasib sendiri di bidang politik,
ekonomi, sosial dan budaya, hak atas pembangunan ekonomi dan sosial, hak untuk
berpartisipasi dan memanfaatkan warisan bersama umat manusia (sumber daya bumi,
ruang angkasa, informasi dan kemajuan ilmiah, teknis dan yang lain, serta
tradisi lokal, dan monumen-monumen kebudayaan), hak atas perdamaian, hak atas
lingkungan hidup yang sehat dan seimbang, dan hak atas bantuan bencana alam
yang bersifat kemanusiaan.
Perkembangan hak asasi manusia
seperti yang digambarkan dengan ke-tiga generasi tersebut bukan berarti saling
meniadakan antara generasi yang satu dengan generasi yang lain, tetapi mereka
saling melengkapi.
C. Hak
Asasi Manusia di Indonesia
Penghormatan suatu negara terhadap
hak asasi manusia, paling tidak secara fundamental bisa dilihat dari isi
konstitusinya. Hampir semua konstitusi dari negara yang ada mencantumkan
seperangkat hak-hak yang dimiliki oleh warga negaranya. “Pencantuman hak-hak
dasar warga negara dalam konstitusi merupakan tindakan yang benar, karena
konstitusi dibuat sebagai dasar tertinggi bagi hubungan antara penyelenggara
negara dengan warga negara”.[24]
Dalam perjalanan sejarahnya, negara Indonesia
pernah mengalami pergantian konstitusi atau undang-undang dasar sebanyak tiga
kali dan dua kali dilakukan amandemen terhadap konstitusi. Konstitusi pertama Indonesia
adalah Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berlaku dari tanggal 18 Agustus
1945.
Pada tahun 1949 sejalan dengan
perkembangan politik yang terjadi di tanah air, maka Undang-undang Dasar 1945
diganti dengan konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Tetapi konstitusi Republik
Indonesia Serikat tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1950 berdasarkan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1950, diadakan perubahan konstitusi Republik Indonesia
Serikat menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Pada tahun 1956 sampai dengan tahun 1959
sebagai hasil dari pemilu tahun 1955, Badan Konstituante bersidang untuk
membentuk konstitusi yang baru serta untuk memperjuangkan pemerintahan
konstitusional di Indonesia. Tetapi upaya yang sungguh-sungguh dari Badan
Konstituante diintervensi oleh Pemerintah atas dukungan dari Tentara Nasional
Indonesia (Angkatan Darat) agar kembali ke Undang-undang Dasar 1945.
Pada tanggal 5 Juli 1959, negara
Indonesia kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 hingga tahun 2000 sebelum
diadakan amandemen terhadap beberapa pasalnya. Dari ketiga macam konstitusi
yang pernah dimiliki Indonesia ,
Undang-undang Dasar 1945 adalah konstitusi yang paling sedikit mencantumkan
hak-hak asasi manusia. Sedikitnya hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-undang
Dasar 1945, disamping memang waktu pembuatan Undang-undang Dasar tersebut
sangat singkat, juga karena para pendiri negara (founding fathers) yang merumuskan konstitusi tersebut masih banyak
yang berpandangan negatif terhadap hak-hak asasi manusia.
Menurut Adnan Buyung Nasution, pada waktu perumusan Undang-undang Dasar
1945 ada tiga pandangan tentang hak asasi dalam perspektif model negara
integralistik, yaitu, (1) dianggap berlebihan, (2) dibayangkan berdampak
negatif, (3) sebagai hak-hak perorangan, selalu di bawah kepentingan bersama.[25]
Pandangan hak asasi manusia dianggap
berlebihan bisa diurai dari pernyataan Soepomo pada sidang BPUPKI sebagai
berikut:
“Tidak akan membutuhkan jaminan dari
individu oleh karena individu itu tidak lain ialah suatu bagian organik dari
alat yang menyelenggarakan kemuliaan dasar, dan sebaliknya oleh politik yang
berdiri di luar lingkungan suasana kemerdekaan seseorang”.[26]
Soekarno pada kesempatan yang sama
juga menghubungkan hak asasi manusia dengan individualisme dan liberalisme yaitu:
“Dapat mengakibatkan persaingan bebas, yang pada gilirannya melahirkan
kapitalisme, sedangkan kapitalisme merupakan sumber imperialisme dan karena
imperialisme, Indonesia
dijajah selama 350 tahun”.[27]
Undang-undang Dasar 1945 sebelum diamandemen
hanya mencantumkan 8 pasal yang berkaitan dengan hak asasi manusia, yaitu:
1)
Pasal 27
ayat (1) dan (2), tentang persamaan di muka hukum, dan hakwarga negara atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak.
2)
Pasal 28,
tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan.
3)
Pasal 29
ayat (2), tentang kemerdekaan memeluk agama.
4)
Pasa 30
ayat (1), hak dalam pembelaan negara.
5)
Pasal 31
ayat (1), tentang hak warga negara mendapat pengajaran.
6)
Pasal 32,
hak budaya.
7)
Pasal 33,
hak pemerataan sumberdaya, ekonomi.[28]
Dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat
keberadaan hak-hak dasar warga negara lebih detil dan beragam yang tercermin di
Bagian V tentang Hak-hak dan Kebebasan Dasar Manusia dan Bagian VI tentang
Asas-asas Dasar. Ada 25 (duapuluh lima ) pasal yang mengatur
tentang hak-hak asasi manusia, dimulai dari pembukaan yang menyatakan kebebasan
mengatur dirinya sendiri sebagai bangsa.
Kemudian Pasal 7 sampai dengan Pasal
40, kecuali Pasal 24, 26, 29, 31, 32, 33, 34, 37, dan 38, sedangkan dalam Undang-undang
Dasar Sementara 1950 hak-hak asasi manusia dicantumkan dalam Bagian V tentang Hak
Kebebasan Dasar Manusia dari Pasal 7 sampai Pasal 34, dan pada Bagian VI
tentang Asas-asas Dasar Hak-hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-undang Dasar
Sementara 1950 hampir semuanya sama dengan yang diatur dalam Konstitusi Republik
Indonesia Serikat kecuali Pasal 21 tentang Hak Berdemontrasi dan Mogok yang
diatur dengan undang-undang.
Langkah maju tentang pemikiran dan
penghormatan hak asasi manusia di Indonesia
terjadi mulai tahun 1990-an dengan keluarnya produk-produk perundang-undangan
yang isinya tentang hak asasi manusia di Indonesia . Langkah maju tersebut
dimulai dengan pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 1993.
Selanjutnya pada tahun 1998, pada
waktu Sidang Umum MPR, lahirlah Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang salah satu perintahnya adalah
Pembentukan Undang-undang Tentang Hak Asasi Manusia. Langkah untuk memajukan
pelaksanaan hak asasi manusia akhirnya terus berlanjut, yaitu dengan lahirnya
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi
Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia.
Pada tahun yang sama dibentuk pula Komisi
Nasioanal Anti Kekerasan Terhadap Kaum Perempuan melalui Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 181 Tahun 1998, kemudian lahir pula Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Pelakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia.
Dalam rangka melaksanakan Tap MPR RI
Nomor XVII Tahun 1998, maka akhirnya pada tahun 1999 lahir Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 21 Bab dan 106 pasal.
“Di dalam undang-undang tersebut
nampak adanya kesungguhan dalam memajukan penghormatan terhadap hak asasi
manusia di Indonesia, karena isinya lebih komprehensif dari pada
perundang-undangan lain yang pernah memuat tentang hak asasi manusia”.[29]
Pada tahun 2000, MPR dalam Sidang
Tahunannya yang pertama melakukan amandemen yang kedua terhadap Undang-undang Dasar
1945. Pada Pasal 27 UUD 1945 ditambahkan dengan satu ayat, yaitu ayat (3),
sedangkan untuk satu bab tambahan diletakkan pada Bab XA, tentang Hak Asasi
Manusia yang isinya adalah:
1.
Pasal 28A
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”.
2.
Pasal 28B
(1) “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah”.
3.
Pasal 28B
(2) “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
4.
Pasal 28C
(1) “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan tehnologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia”.
5.
Pasal 28C
(2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara”.
6.
Pasal 28D
(1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan sama dihadapan hukum”.
7.
Pasal 28D
(2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
8.
Pasal 28D
(3) “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan”.
9.
Pasal 28D
(4) “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”.
10. Pasal 28E (1) “Setiap orang berhak memilih
agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya serta berhak kembali”.
11. Pasal 28E (2) “Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati
nuraninya”.
12. Pasal 28E (3) “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
13. Pasal 28F “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk memiliki, memperoleh, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia”.
14. Pasal 28G (1) “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi”.
15. Pasal 28G (2) “Setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
16. Pasal 28H (1) “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
17. Pasal 28H (2) “Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
18. Pasal 28H (3) “Setiap orang berhak atas jaminan
sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat”.
19. Pasal 28H (4) “Setiap orang berhak mempunyai
hak milik pribadi dan hak milik pribadi tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun”.
20. Pasal 28I (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagi pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
21. Pasal 28I (2) “Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
22. Pasal 28I (3) “Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan
peradapan”.
23. Pasal 28I (4) “Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung-jawab negara, terutama
pemerintah”.
24. Pasal 28I (5) “Untuk menegakkan dan melindungi
hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan”.
25. Pasal 28J (1) “Setiap orang wajib menghormati
hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara”.
26. Pasal 28J (2) “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Kalau dicermati lebih jauh,
sebenarnya dalam aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia masih bisa ditelusuri
pasal-pasal yang berkaitan dengan penghormatan hak asasi manusia, seperti:
1.
Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
2.
Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
3.
Undang-undang
Nomor 42 Tahun 1981 tentang Pelayanan Kesehatan Bagi Fakir Miskin.
Selain Undang Undang Nomor 39 Tahun
1999, sebenarnya masih banyak lagi yang ada kaitan atau hubungan dengan hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya yang tercantum dalam Universal Declaratioan of Human Rights, kemudian yang berkaitan
dengan Crime and Political Rights.
Pengaturan hak asasi manusia yang tercantum dalam beberapa peraturan
perundang-undangan serta amandemen ke-dua Undang-undang Dasar 1945, memberikan
harapan yang cerah bagi penegakan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia
di negeri ini, tetapi ada beberapa rintangan atau kendala yang menghadang dalam
pelaksanaan hak asasi manusia, antara lain karena masih lemahnya lembaga atau
badan peradilan, seta masih ada beberapa peraturan perundangan yang membatasi
pelaksanaan hak asasi manusia.
A. Pengertian
Asas Legalitas
Istilah asas legalitas berasal dari
bahasa latin yang berbunyi, “Nullum
Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali”, yang berarti tidak ada
delik, tidak ada pidana, tanpa peraturan terlebih dahulu.
Rumusan Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali ini pertama kali dikemukakan oleh sarjana hukum pidana Jerman
terkenal Von Feuerbach, dialah yang merumuskan dalam pepatah latin dalam
bukunya “Lehrbuch des pemlichen Recht”.[30]
Ansen Von Feuerbach merumuskan asas
tersebut berhubungan dengan teorinya yang terkenal “vom psychologischen zwang”. Menurut teori ini ancaman pidana
dimaksudkan untuk menakut-nakuti, sehingga dorongan bathin untuk melakukan
tindakan pidana dapat dicegah. Agar orang mengetahui adanya ancaman pidana,
maka perlu dirumuskan dalam undang-undang, jadi ada hubungan antara teori vom psychologischen zwang dengan asas
legalitas.
Asas legalitas merupakan realisasi
teori vom psychologischen zwang, asas
ini menghendaki untuk adanya tindak pidana harus dicantumkan terlebih dahulu
dalam peraturan perundang-undangan pidana. Bagaimanapun jahatnya suatu
perbuatan dipandang masyarakat, bukanlah tindak pidana, dan kepada pelakunya
tidak dapat dipidana selama undang-undang tidak mengaturnya. Dengan kata
lain perbuatan itu
terlebih dahulu ada
dalam peraturan perundang-undangan
disertai pidananya.
Asas legalitas menentukan perbuatan
apa saja yang dipandang sebagai tindak pidana, karena yang membuat
undang-undang kita adalah pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat, sebagai wakil rakyat, maka rnenjadi tugas pemerintah bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukap dengan bijaksana perbuatan-perbuatan
apa yang dipandang sebagai tindak pidana.
Aspek dari hukum menentukan apakah
perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau bukan tindak pidana dan
juga orang yang melakukan perbuatan itu apakah dapat dipertanggungjawabkan atau
tidak. Hal ini oleh Moeljanto dikemukakan adanya dua asas pokok yang dapat
menjadi dasar dan menjatuhkan pidana pada seseorang yaitu:
1.
Adanya
asas tidak ada delik, tidak ada pidana, tanpa peraturan pidana terlebih dahulu.
Arti dari pengertian ini perbuatan-perbuatan apa saja yang telah
diatur dalam peraturan.
2.
Adanya
asas tidak pidana jika tidak ada kesalahan.
Asas yang kedua ini berhubungan dengan diri orang yang melakukan tindak
pidana dapat dipidana, dengan kata lain orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya atau kalau dari sudut perbuatannya itulah harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Sebagai contoh misalnya orang yang
melakukan tindak pidana karena daya paksa menurut Pasal 48 tidak dapat
dipidana.[31]
Hukum acara pidana dalam hal tuntutan
mengenai prinsip legalitas yang berarti bahwa, penuntut umum (jaksa) harus
menuntut apabila cukup bukti untuk menuduh seseorang telah melanggar peraturan
pidana. Pengertian dalam hukum acara pidana ini biasanya sebagai lawan prinsip
opportunites, demikian pula dalam hukum tata negara mengenai asas legalitas ini.
Apabila diperhatikan lebih lanjut
perumusan asas legalitas yang dikemukakan oleh Von Feuerbach. mengandung makna:
1.
Memerintahkan
kepada pemerintahan untuk menentukan dan merumuskan perbuatan-perbuatan apa
saja yang termasuk tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan, dan
memberikan sanksi bagi pelanggarnya.
2.
Memberikan
ketentuan kepada hakim untuk tidak menentukan sendiri perbuatan yang tidak
dianggap tindak pidana, karena untuk ini telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.[32]
Kedua hal tersebut di atas
dimaksudkan agar setiap kejahatan yang dilakukan oleh seseorang sudah pasti ada
pidananya. Dengan demikian akan mencegah adanya perlakuan sewenang-wenang dari
penguasa karena hakim tidak bebas menentukan sendiri apa yang dianggap tindak
pidana, maka akan terjadi keamanan seseorang dari tindakan sewenang-wenang dan
kepastian hukum akan terwujud.
Selanjutnya asas legalitas apabila diperinci
berisi 2 (dua) hal:
1.
Suatu
tindak pidana harus dirumuskan atau disebutkan dalam peraturan perundang-undangan.
Bahwa perbuatan yang tercantum dalam undang-undang tidak dapat
dikatakan tindak pidana dan tidak dapat dipidana. Dengan adanya ketentuan yang
demikian ini, maka delik tidak dapat dipidana. Jadi perbuatan yang dicela oleh
masyarakat dan merugikan masyarakat karena tidak ditentukan dalam hukum
tertulis bebas dari ancaman pidana.
Untuk menentukan tindak pidana tidak boleh menggunakan analogi.
Memperluas berlakunya suatu peraturan dengan mengabstraksikan menjadi aturan
hukum yang menjadi dasar peraturan itu dan kemudian menerapkan aturan yang
bersifat umum kepada perbuatan-perbuatan konkrit yang tidak ada aturunnya dalam
undang-undang. Ketentuan-ketentuan ini merupakan konsekuensi pertama yang menyatakan
perbuatan pidana ada jika undang-undang mengaturnya. Hal ini berarti di luar
undang-undang tidak dapat kita temukan tindak pidana. Perbuatan yang walaupun
mirip atau mengandung unsur-unsur hampir bersamaan dengan perbuatan yang
dicantumkan dalam aturan undang-undang sebagai tindak pidana. Tidak boleh
menggunakan analogi di dalam menentukan tindak pidana, berpangkal pada
pendirian bahwa yang menjadi soal jtu tidaklah dapat dimasukkan dalam suatu
aturan hukum yang sudah ada. Apabila diperbolehkan menggunakan analogi,
dikhawatirkan penguasa atau hakim akan berbuat sewenang-wenang dalam menentukan
tindak pidana.
2.
Peraturan
perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.
Arti dari pada pengertian kedua ini adalah bahwa aturan-aturan hukum
pidana tidak berlaku surut. Larangan berlaku surut ini lebih mempertegas
pengertian pertama. Suatu aturan hukum pidana harus ada tertebih dahulu,
sebelum perbuatan dilakukan, dengan demikian aturan hukum pidana tidak berlaku
buat perbuatan yang dilakukan sebelum peraturan hukum pidana itu sendiri ada.
Dengan kata lain aturan hukum pidana hanya berlaku untuk perbuatan-perbuatan
yang terjadi sesudah aturan undang-undang itu dinyatakan mulai berlaku.[33]
Larangan untuk memberlakukan surut
aturan hukum pidana ini ditujukan kepada hakim. Bagi pembentuk undang-undang
dapat saja menyatakan suatu undang-undang berlaku surut sampai waktu tertentu,
termasuk undang-undang pidana. Akan tetapi untuk undang-undang pidana,
pembentuk undang-undang seharusnya memperhatikan adanya asas legalitas ini
merupakan asas fundamental dalam negara
hukum. Larangan ini pada dasarnya untuk mencegah adanya tindakan
sewenang-wenang dari petugas dan memberikan perlindungan kepada individu dan
menegakkan kepastian hukum.
Dari pengertian asas legalitas yang
kami paparkan, maka tergambar bahwa asas ini mempunyai maksud dan tujuan:
1.
Membatasi
atau mencegah nafsu manusia untuk melakukan kejahatan.
2.
Melindungi
kemerdekaan dan pribadi dari tindakan sewenang-wenang penguasa.
3.
Untuk
menjamin adanya kepastian hukum.
Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh
hakim bersifat individual, dalam arti orang yang dianggap bersalah melakukan
tindak pidana itulah yang dijatuhi pidana. Oleh karena itu untuk mencegah
sewenang-wenang hakim kepada individu perlu adanya jaminan perlindungan hukum.
Ketidakadaan perlindungan terhadap kemerdekaan, individu berarti membuka pintu
bagi penguasa untuk dengan alasan demi kepentingan negara menindak seseorang
yang belum tentu bersalah. Dengan demikian ketidakadaan perlindungan kepada
individu juga malapetaka bagi kehidupan individu dan masyarakat, sebab
kesewenang-wenangan penguasa akan membuka ketidaktentraman rakyat, rasa khawatir
akan selalu timbul, fitnah akan mudah terjadi, akhirnya rakyatlah yang akan menjadi
korban, akibat tidak adanya ketentraman dan kepastian hukum.
Tidak ada alasan untuk menolak asas
legalitas, hanya karena asas tersebut diilhami oleh faham individualisme dan
merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda. Pendirian tersebut tidak
berarti hendak mengakui kebebasan mutlak bagi individu. Manusia selalu hidup
bersama-sama, maka kehidupan seorang individu harus mengindahkan tata tertib
dalam kehidupan bersama. Ia melakukan dan seharusnya tidak dilakukan dalam
kehidupan masyarakat, dengan kata lain bagaimana seseorang harus bertindak
menurut hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Di Indonesia sebagai negara yang
berdasarkan Pancasila hendak manempatkan secara seimbang antara kepentingan
perseorangan dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian pengakuan terhadap
asas legalitas tidak berarti kepentingan kolektif maupun individii selalu
dilindungi dan diperhatikan.
Pada jaman dahulu ada perbuatan yang
oleh masyarakat dipandang sebagai perbuatan jahat, tetapi karena tidak
tercantum sebagai tindak pidana dalam perundang-undangan, maka kepada
pelaksananya tidak dapat dipidana Sebagai contoh misalnya pembunuhan dengan
ilmu santet yang dalam masyarakat merupakan kejahatan tetapi dalam perundang-undangan
sekarang sudah tidak diatur meskipun sangat sulit dibuktikan.
Asas legalitas dirasakan sering tidak
bisa mengikuti dinamika masyarakat. Hal ini dapat diakui kebenarannya sebab
adanya hukum adalah merupakan gejala masyarakat, artinya dimana ada masyarakat
disitu ada hukum yang mengatur pergaulan hidup masyarakat. Oleh karena
masyarakat selalu mengalami perkembangan, semestinya hukum yang mengatur
mengalami perkembangan pula. Akan tetapi karena untuk tindak pidana telah
ditentukan dalam perundang-undangan terlebih dahulu, sehingga mungkin isi undang-undang
itu sudah sesuai dengan kesadaran hukum yang tumbuh di masyarakat sudah jauh
berkembang, dengan kata lain undang-undang bersifat statis.
Tresna juga membenarkan bahwa perbuatan yang menyolok dan merugikan
masyarakat tidak dapat dituntut di muka hakim. Akan tetapi apakah usaha untuk
memberantas gejala-gejala yang tidak sehat itu harus segera saja ditempuh dengan
melaksanakan asas legalitas, hal ini belum kami dapat meyakinkan.[34]
Sudarto berpendapat tentang
perkembangan delik-delik khusus di Indonesia mengemukakan bahwa, “Dalam
melaksanakan politik hukum, negara kita pada dasairnya tetap mempertahankan
asas legalitas sebagai asas yang fundamental”.[35]
Jadi asas yang tercantum dalam Pasal
1 ayat (1) KUHP menghendaki peraturah perundang-undangan ada lebih dahulu
sebelum tindak pidana dilakukan.
Van Apeldoorn tidak menolak diakuinya hukum pidana adat, diakuinya
kebijaksanaan dengan meninggalkan asas legalitas, ketidakpastian hukum akan
timbul yang mengakibatkan kesewenang-wenangan penguasa sehingga ketidakadilan
sulit terwujud dengan baik. Di samping itu kebiasaan berbagai daerah tidak sama
dan penilaian masyarakat terhadap sesuatu yang dianggap baik dan buruk
mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Demikian pula mengenai sanksinya, sehingga
tidak ada kepastian hukum. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan Van
Apeldoorn bahwa, pada hakekatnya, ketidak pastian hukum kebiasaan adalah lebih
besar, sebab tidak ada perumusan.[36]
Memang antara tuntutan adanya
kepastian hukum dan terpenuhinya keadilan dalam sejarah perkembangan hukum
dapat digambarkan sebagai suatu cyclits
yang selalu timbul silih berganti. Hal ini terlihat dari pendapat Van
Apeldoorn, yang mengemukakan bahwa:
Dari sejarah hukum ternyata, bahwa berlakunya kebiasaan sebagai
sumber hukum, dalam suatu masa selalu menyebabkan keinginan untuk
meriyingkirkannya dengan menjadikannya undang-undang, ... akan tetapi
sebaliknya sejarah hukum mengajarkan juga, bahwa cita-cita tersebut sudah
berhasil baik, maka lama-kelamaan selalu akan terdapat reaksi, karena
perundang-undangan biasanya tidak selalu mengikuti perkembangan masyarakat, ...
maka kebiasaan akan menuambil temapat yang dari sejarah hukum ternyata, bahwa
berlakunya kebiasaan sebagai sumber hukum, dalam suatu masa penting lagi.[37]
Sebenarnya baik hukum yang berwujud
perundang-undangan maupun hukum adat, kedua-duanya merupakan refleksi kesadaran
hukum masyarakat. Hukum perundang-undangan dibentuk oleh pembentuk
undang-undang yang semestinya meningkatkan kesadaran hukum yang hidup dalam
masyarakat. Van Apeldoorn mengingatkan bahwa, “Undang-undang untuk sebagian
besar adalah hukum kebiasaan yang tertulis”.[38]
Sedang hukum adat adalah yang tumbuh
hidup dan berkembang dalam masyarakat serta dipatuhi oleh masyarakat, sehingga
antara perundang-undangan dan hukum adat tidak ada pertentangan yang tajam. Mengingat
hal tersebut, maka diakuinya hukum pidana adat tanpa meninggalkan asas
legalitas akan lebih memenuhi hajat masyarakat dari pada mengakui hukum pidana
adat dengan meninggalkan asas legalitas. Dengan demikian rasa keadilan akan
dapat terpenuhi tanpa meninggalkan kepastian hukum pidana adat selama sangat
dibutuhkan masyarakat dan demi terpenuhinya rasa keadilan.
Dapat dikatakan betapa penting dan
besar faedahnya asas legalitas dan dapat dipandang sebagai jaminan yang perlu
sekali bagi keamanan hukum, artinya perlindungan bagi para pihak terhadap
kesewenang-wenangan hakim. Asas legalitas diakui sebagai asas esensial dalam
hukum pidana.
B. Sejarah
Asas Legalitas
Asas legalitas sebagaimana yang telah
katakan di atas berasal dari bahasa latin. Menurut Moeljatno bahwa “Di dalam
hukum Romawi Kuno yang memakai bahasa latin tidak mengenai pepatah ini dan juga
asas legalitas tidak dikenal”.[39]
“Pada zamun Romawi dikenal adanya
kejahatan yang dinamakan criminal extra ordinary,
artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang”.[40]
Pada abad pertengahan hukum Romawi
itu diterima oleh sebagian negara di Eropa Barat. Para Raja yang berkuasa waktu
itu menerima pengertian tentang extra
ordinary dan dengan diterimanya pengertian ini, maka bagi raja terbuka kemungkinan
besar sekali untuk menentukan sesuatu perbuatan jahat, perbuatan durjana,
sehingga terbuka pula kesempatan bagi raja menghukum seseorang dengan
sewenang-wenang menurut kehendaknya sendiri. Seseorang yang tidak disenangi
atau dianggap membahayakan, oleh raja dengan mudah dapat dituntut dan dihukum
dengan sewenang-wenang.
Pertengahan abad ke 18 di Prancis
timbul pertentangan hebat antara dua golongan. Di satu pihak raja dengan
bantuan kaum borjuis ingin tetap mempertahankan kekuasaannya yang absolut.
Mereka tetap ingin dengan leluasa memeras dan menindas rakyat, memperlakukan
rakyat dengan sewenang-wenang. Di lain pihak rakyat pada waktu itu mulai
bergejolak rasa tidak puas akibat penmdasan dan perlakuan sewenang-wenang. Pada
waktu itu negara Prancis pada umumnya dijalankan peradilan arbiter. Sebagai
contoh Jean Clas, ia didakwa membunuh anaknya sendiri, kemudian ia dihukum mati
secara ganas. Kemudian Voltair berhasil membuktikan bahwa Jean Clas tidak
membunuh, tetapi orang lain yang membunuh. Adanya peristiwa ini peradilan
arbiter dikecam oleh bangsa Prancis dan bangsa-bangsa lain. Selanjutnya
pemerintah mengeluarkan suatu pernyataan tentang tidak bersalahnya Jean Clas
tersebut tetapi Jean Clas sudah mati. Peradilan ini menimbulkan suatu ketidak
adilan, maka harus dihapuskan dan diganti dengan peradilan yang obyektif, tidak
memihak yang dicantumkan dalam undang-undang.
Dalam sejarah Prancis terkenal
Lodewujk XIV sebagai raja yang berkuasa mutlak. Kekuasaannya digunakan untuk
kemewahan dirinya, melimpahkan hawa nafsunya, bahkan lebih merajalela lagi
dengan mengorbankan rakyatnya untuk kepentingannya sendiri. Ia adalah penguasa
negara tunggal, negara ialah miliknya, kemauannya adalah kemauan Negara,
sehingga sampailah ia pada kesimpulan estate
de moi yang artinya negara adalah saya. Seorang raja dengan mudah, cukup
dengan surat
yang dinamakan letter de cachet
seseorang raja dapat menuduh dan menghukum seseorang dengan ganas.
Revolusi Prancis yang secara
tiba-tiba tercetus, merupakan manifestasi dari pada perasaan tidak puas dan
kemarahan rakyat Prancis yang sudah tidak terbendung lagi. Rakyat sebenarnya
menuntut keadilan, perlindungan terhadap adanya tindakan sewenang-wenang dan
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Apa yang dilakukan Lodewujk XIV di pandang
sebagai perbuatan jahat, tidak adil dan memperkosa hak-hak asasi.
Revolusi Prancis mempunyai arti
penting bagi kemanusiaan dan mempunyai arti penting pula bagi perkembangan
hukum pada umumnya. Dalam lapangan hukum pidana rakyat menghendaki adanya
kepastian hukum agar tidak ada kesewenang-wenangan penguasa, sehingga akan
terwujud adanya keadilan. Rakyat menghendaki adanya tuntutan-tuntutan atau peraturan
hukum yang jelas dan tegas yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dipandang
sebagai tindak pidana. Demikian beratnya hukuman tidak boleh ditentukan
sewenang-wenang oleh hakim. Untuk adanya kepastian hukum dan perlakuan yang
layak terhadap individu serta menjamin keselamatan, kemerdekaan maka aturan
hukum itu harus dicantumkan dalam undang-undang. Meskipun penulis pada waktu
itu seperti Montesquieu dalam bukunya Iesprit
des lois (1748) dan Rosseau dalam bukunya Du Contract Social (1762) telah terlebih dahulu menghendaki penegasan
dalam undang-undang tentang pembuatan yang merupakan tindak pidana, akan tetapi
akhirnya Von Feuerbach beberapa tahun kemudian setelah revolusi Francis, yang
bersifat melukiskan kehendak rakyat dalam uraian pepatah nullum delictum nulla poena sine praveia legt poenali dalam bukunya
lehrbuch des peinlichen recht.
Asas legalitas lahir pada zaman
memuncaknya perkembangan faham individualisme, sehingga hanya mengejar
kepentingan individu dan kurang melindungi kepentingan masyarakat. Memang
diakui dan benar bahwa, asas legalitas lahir pada zaman Auflarung yang kemudian
masuk pula dalam K.U.H.P Indonesia
yang oleh pemerintah Belanda dahulu diterapkan untuk bangsa Indonesia .
Dewasa ini seharusnya kita
berpendirian apa yang dilahirkan pada zaman Auflarung tidak semua buruk dan
semuanya yang diciptakan oleh penjajah Belanda adalah tidak baik. Apalagi
setelah mengetahui latar belakang sejarah timbulnya, arti dan maksud serta
kegunaan asas legalitas tersebut sebagai kunci penutup untuk mengakhiri
kesewenangan penguasa, terutama terhadap adanya peradilan arbiter. Dengan demikian
asas tersebut bermaksud untuk menjunjung martabat dan melindungi manusia
sebagai individu dari tindakan sewenang-wenang. Pengakuan terhadap martabat
manusia dan perlindungan terhadap kemerdekaan individu sudah sewajarnya bahkan
merupakan keharusan mutlak bagi suatu negara hukum untuk memberlakukannya.
Timbulnya asas legalitas terdorong
oleh kehendak rakyat Prancis yang menginginkan adanya perlindungan terhadap
kemerdekaan individu dari tindakan sewenang-wenang penguasa dan tuntutan adanya
kepastian hukum. agar terwujud keadilan. Sebetulnya bukan hanya kehendak rakyat
Prancis saja yang menghendaki adanya perlakuan yang layak dari penguasa, tetapi
tuntutan setiap nurani manusia untuk menjunjung nilai dan martabat manusia.
C. Asas
Legalitas Dalam Perundang-Undangan Pidana Di Indonesia
Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia
tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.
Asas legalitas menghendaki bahwa
suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana apabila terlebih dahulu
ada undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai tindak pidana.
Oleh karenanya, asas legalitas melarang penerapan hukum pidana secara surut (retroaktif).
“Pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang menjadi landasan penegakan hukum pidana di Indonesia ,
terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum”.[41]
Asas legalitas ini diatur pula dalam
Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyebutkan bahwa:
“Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain
daripada yang ditentukan oleh undang-undang”.
Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali
kehendak asas legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara tertulis.
Begitu juga dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen II Pasal 281 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa:
“Hak untuk hidup…..dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun”.
Dalam Amandemen IV disebutkan bahwa:
“Untuk menegaldcan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundang-undangan”.
Perlu disadari bahwa WetBoek van Strafrecht (WvS) merupakan
peninggalan kolonial Belanda, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa
penyesuaian dalam konteks Indonesia .
Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen
dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam perkembangannya,
kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk
undang-undang baru, sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di
luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk
sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana
diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan
pemidanaannya.
Sebagai peraturan peninggalan
Belanda, menurut Mudzakkir:
Asas legalitas kemudian menjadi problem dalam penerapannya. Asas
legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen. KUHP
maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh
masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang
tertulis tidak mengatur larangan itu.[42]
Dalam sejarah hukum pidana Indonesia ,
keberadaan pengadilan adat memungkinkan diterapkannya pidana adat dan hukum
yang hidup dalam masyarakat (living law)
walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas
legalitas dalam praktek di Indonesia
tidak diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1 KUHP.
Dalam komentar terhadap K.U.H.P oleh
Soesilo, asas legalitas dalam Pasal 1 memiliki tiga pengertian yaitu:
1.
Tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2.
Untuk
menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas)
3.
Aturan-aturan
hukum pidana tidak berlaku surut.[43]
Pengertian yang pertama mengandung
konsekuensi tertentu, yaitu hukum adat tidak dapat diberlakukan. Sebab hukum
adat sifatnya tidak tertulis, sedangkan dalam pengertian di atas secara jelas
menyebutkan bahwa perbuatan yang dapat diancam adalah jika sudah diatur dalam
sebuah undang-undang. Berdasarkan pengertian di atas, maka hukum pidana Indonesia
menggunakan penafsiran yang sempit, yakni hukum yang dimaksud hanya hukum yang
tertulis saja.
Sebetulnya, pada perundang-undangan Indonesia
yang lain ada memuat tentang asas legalitas, yaitu Undang-undang Dasar Sementara
(UUDS) tahun 1950 Pasal 14 ayat (2) yang menyatakan:
“Tak seorangpun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman
kecuali suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya”.
Dari pasal di atas tercermin
pengertian hukum melingkupi aturan tertulis dan aturan tidak tertulis, sehingga
dalam UUDS berlakunya hukum adat sangat kuat. Menurut Moeljatno, “Ini merupakan
asas legalitas dalam pengertian yang luas, namun saat ini UUDS tidak berlaku
lagi dalam perundang-undangan di Indonesia ”.[44]
Pengertian yang kedua yaitu, tidak
dikenal adanya tafsir analogi, ini merupakan sebuah pembatasan atau persyaratan
berlakunya asas legalitas pada pengertian pertama. Diprediksikan bahwa
masyarakat akan mengalami perubahan dengan cepat, sehingga dengan dinamisnya
masyarakat bisa jadi makna sebuah kata juga mengalami perubahan makna, sehingga
dibutuhkan metode penafsiran undang-undang dengan makna yang berkembang.
Asas legalitas yang mengandung
pengertian tidak boleh melakukan analogi masih banyak digunakan di negara lain,
termasuk Indonesia , namun di
Indonesia
maupun di negara lain sudah ditegaskan dalam perundang-undangan masih saja timbul
tentang hal ini.
Perdebatan tersebut dapal dilihat dari pandangan Scholten menolak
adanya perbedaan antara analogi dan tafsir ekstensif. Menurutnya dalam tafsir
ekstensif maupun tafsir analogi memiliki dasar yang sama, yaitu sama-sama mencoba
menemukan norma-norma yang ada. Dengan cara ini maka disusunlah aturan yang
baru dari hasil meluaskan aturan yang ada, perbedaan hanya pada graduilnya saja.[45]
Secara tidak langsung Scholten
menyatakan bahwa, “Analogi dapat dilakukan mengingat alasan tersebut di atas”.[46]
Moeljatno berpendapat bahwa:
Analogi tidak dapat digunakan dalam hukum pidana. Tafsir dan
perbedaannya hanya soal gradasi saja, namun Moeljatno menegaskan bahwa ada
batas-batas yang tegas di antara keduanya yaitu, tafsir ekstensif berpegang
pada aturan yang ada. Disitu ada perkataan yang diberi arti menurut makna yang
hidup dalam masyarakat sekarang tidak menurut makna pada waktu undang-undang
dibentuk, sehingga sangat mungkin ada perluasan makna dibanding ketika aturan
dibuat, namun makna tersebut meski lebih luas harus dinilai secara objektif
bersandar pada pandangan masyarakat.[47]
Dalam analogi sebuah perbuatan pidana
yang dilakukan tidak memiliki dasar hukum tetapi, menurut pandangan hukum
perbuatan tersebut seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula karena ada
kemiripan perbuatan tersebut dengan perbuatan yang dilingkup oleh dasar hukum,
maka dipakailah aturan baru tetapi hal ini dianasir tidak dengan sikap yang
sewenang-wenang.
Penafsiran analogi menurut Bambang Poernomo
adalah:
Penerapan aturan hukum pidana secara kongkrit terhadap suatu
kejadian, yang unsur perbuatan semula tidak tercakup di dalam aturan hukum
pidana ketika aturan itu dibuat, tetapi karena dipandang perlu unsur perbuatan
baru tersebut dinyatakan memenuhi syarat melanggar aturan hukum pidana.[48]
Meski banyak perbedaan pendapat dalam
penemuan penafsiran analogi, namun ada alasan pokok yang mendukung diterimanya
analogi dalam hukum pidana. Alasan itu mendasarkan pada dua pokok pikiran;
1.
Dengan membuat
perbandingan bekerjanya penafsiran eksiensif dianggap analogi tidak berbeda
dengan penafsiran ekstensif.
2.
Dengan
mengadakan pemisahan jalan pikiran analogi yang dibedakan menjadi 4 versi:
a.
Penafsiran
analogi yang menemukan sesuatu perbuatan pidana baru.
b.
Penafsiran
analogi untuk menentukan pemberian ancaman pidana saja.
c.
Penafsiran
analogi untuk menentukan perluasan penuntutan.
d.
Penafsiran
analogi untuk menentukan penghapusan pidana yang bersifat meringankan.[49]
Dalam pengertian ketiga, yaitu, aturan
pidana lidak berlaku surut memberi pengertian bahwa perbuatan seseorang dinyatakan
perbuatan pidana menurut aturan yang berlaku pada waktu perbuatan dilakukan.
Pengertian ketiga ini dibatasi dengan
Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan:
“Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah saat melakukan
perbuatan, maka digunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa”.
Pasal tersebut mengandung pengertian arti bahwa asas tanpa delicti
tidak berlaku jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan dan sebelum perkara diadili, tetapi yang dipakai jika ada kasus yang
demikian ialah aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
[1] Moeljatno, Hukum Pidana dan
Pertanggung Jawaban Dalam Hukum Pidana, Yayasan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta , 1989, hal. 709.
[2] Todung Mulya Lubis, op.cit., hal.
14.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hal. 15.
[5] Ibid. hal 9.
[6] Anton Suseno, op.cit., hal.
61.
[7] Fans Magnis Suseno, op.cit,
hal. 189.
[8] Anton Suseno, , op.cit., hal.
9.
[9] Frans Magnis Suseno, op.cit.,
hal. 190.
[10] Anton Suseno, op.cit.,
hal. 81.
[11] Maulana Hassan, Advokasi dan
Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta ,
2000, hal. 29.
[12] Bambang Poernomo, Desaku dan
Kampus Biru, Lembaga Pengabdian Masyarakat UGM, Yogyakarta ,
2000, hal. 42.
[13] Anton Suseno, op.cit,
hal. 21.
[14] Anton Suseno, op.cit., hal.
23
[15] Anton Suseno, op.cit,
hal. 57
[16] Ibid., hal. 72.
[17] Ibid., hal. 79.
[18] Ibid., hal. 80.
[19] Ibid., hal 97.
[20] Ibid.. hal. 99.
[21] Ibid., hal 101.
[22] Ibid., hal. 112.
[23] Ibid., hal. 120.
[24] O.C. Kaligis, HAM di
Indonesia Perjalanan Panjang Menuju Keadilan, Jakarta , 2002, hal. 12.
[25] Adnan Buyung Nasution, Pemerintahan
di Indonesia, PT. Pustaka Utama Gramedia, Jakarta , 1995, hal. 92.
[26] Ibid., hal. 93.
[27] Ibid., hal 93.
[28] Todung Mulya Lubis, op.cit., hal.
102.
[29] Sabirin Malian dan Suparman Marzuki, Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, UII Press, Yogyakarta , 2003.
[30] Moeljatno, Asas-asas Hukum
Pidana, Bina Aksara, Jakarta ,
1997, hal. 23.
[31] Ibid, hal. 14.
[32] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum
Pidana, Rineka Cipta, Jakarta ,
1994, hal. 39.
[33] Ibid, hal. 45.
[34] Tresna, Asas-asas Hukum Pidana,
Tiara Limited, Jakarta ,
1998, hal. 38.
[35] Sudarto, Hukum dan Hukum
Pidana, Eresco, Bandung ,
1986, hal. 23.
[36] Van Apeldoorn, Pengatar Ilmu
Hukum, Pradnya Pramita, Jakarta ,
1973, hal. 129.
[37] Ibid, hal. 132.
[38] Ibid, hal. 127.
[39] Moeljatno, op.cit., hal. 23.
[40] Ibid, hal. 24.
[41] Eva Achjani Zulfa, op.cit.
[42] Mudzakir, Pengaturan Asas
legalitas Dalam RUU KUHP, Makalah, Jakarta ,
2005.
[43] Moeljatno, op.cit., hal.
24.
[44] Ibid, hal. 26.
[45] Ibid, hal. 31.
[46] Ibid, hal. 32.
[47] Ibid, hal. 37.
[48] Bambang Poernomo, Pokok-pokok
Hukum Pidana, Liberty , Yogyakarta ,
hal. 54.
[49] Ibid, hal. 59.
