USIA NIKAH DALAM HUKUM ISLAM (Analisa Terhadap Kasus Nikah Di Bawah Umur Di Desa Bandar Khalifah)
(Analisa Terhadap Kasus Nikah Di
Bawah Umur Di Desa Bandar Khalifah)
Oleh : Al Faury
A.
Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami
dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi bologis,
melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang, persaudaraan, memelihara
anak-anak dan menjadi anggota masyarakat yang sempurna.
Dalam pelaksanaan perkawinan tersebut seseorang yang hendak
menikah dituntut untuk memiliki kesiapan dan kesanggupan dalam rangka menjalani
dan memelihara ikatan perkawinan itu. Salah satu faktor pendukungnya adalah
kesiapan umur, sehingga dalam kajian hukum di Indonesia umur merupakan
persoalan yang cukup banyak diperbincangkan.
Makalah sederhana ini akan mengkaji tentang umur dalam
pandangan fikih dan undang-undang di Indonesia yang dikaitkan dengan beberapa
kasus yang terjadi di desa Bandar Khalifah, Deli Serdang.
B.
Batas Usia Nikah Menurut Hukum Islam
Pada dasarnya, Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak
tentang batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur
minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan diasumsikan memberi
kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa
orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu.
Firman Allah SWT dalam Surat An Nuur : 32.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian
di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin,
Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur : 32)
Kata (الصالحين)
dipahami oleh banyak ulama dalam arti “yang layak kawin” yakni yang mampu
secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga. Begitu
pula dengan hadits Rasulullah SAW, yang menganjurkan kepada para pemuda untuk
melangsungkan perkawinan dengan syarat adanya kemampuan.
حدثنا عمر بن حفص بن غياث حدثنا
الأعمش قال حدثني عمارة عن عبد الرحمن بن يزيد قال دخلت مع علقمة و الأسود على عبد
الله فقال عبد الله كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم شبابا لا نجد شيئا فقال لنا
رسول الله صلى الله عليه و سلم يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه
أغض للبصر و أحسن للفرج و من لم يستطع فعليه بالصيام فإنه له وجاء (رواه البخاري)
“Kami
telah diceritakan dari Umar bin Hafs bin Ghiyats, telah menceritakan kepada
kami dari ayahku (Hafs bin Ghiyats), telah menceritakan kepada kami dari al
A’masy dia berkata : “Telah menceritakan kepadaku dari ’Umarah dari Abdurrahman
bin Yazid, dia berkata : “Aku masuk bersama ’Alqamah dan al Aswad ke (rumah)
Abdullah, dia berkata : “Ketika aku bersama Nabi SAW dan para pemuda dan
kami tidak menemukan yang lain, Rasulullah SAW bersabda kepada kami:
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu telah mampu berumah tangga,
maka kawinlah, karena kawin dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu, maka hendaklah berpuasa, maka
sesungguhnya yang demikian itu dapat mengendalikan hawa nafsu.” (HR.
Bukhari)
Secara tidak langsung, Al-Qur’an dan Hadits mengakui bahwa
kedewasaan sangat penting dalam perkawinan. Usia dewasa dalam fiqh ditentukan
dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani yaitu tanda-tanda baligh secara
umum antara lain, sempurnanya umur 15 (lima belas) tahun bagi pria,
ihtilam bagi pria dan haid pada wanita minimal pada umur 9 (sembilan)
tahun.
Dengan terpenuhinya kriteria baligh maka telah memungkinkan
seseorang melangsungkan perkawinan. Sehingga kedewasaan seseorang
dalam Islam sering diidentikkan dengan baligh.
Apabila terjadi kelainan atau
keterlambatan pada perkembangan jasmani (biologis)nya, sehingga pada usia yang
biasanya seseorang telah mengeluarkan air mani bagi pria atau mengeluarkan
darah haid bagi wanita tetapi orang tersebut belum mengeluarkan tanda-tanda
kedewasaan itu, maka mulai periode balighnya berdasarkan usia yang lazim seseorang
mengeluarkan tanda-tanda baligh. Mulainya usia baligh antara seorang dengan
orang lain dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan, geografis dan sebagainya.
Ukuran kedewasaan yang diukur dengan
kriteria baligh ini tidak bersifat kaku (relatif). Artinya, jika secara
kasuistik memang sangat mendesak kedua calon mempelai harus segera dikawinkan,
sebagai perwujudan metode sadd al-zari’ah untuk menghindari kemungkinan
timbulnya mudharat yang lebih besar.
Para ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan batasan umur bagi orang yang dianggap baligh. Ulama Syafi'iyyah dan
Hanabilah menyatakan bahwa :
و قال الشافعية و الحنابلة أن البلوغ
بالسن يتحقق بخمس عشرة سنة في الغلام و الحارية
Anak
laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15
tahun.
Ulama Hanafiyyah menetapkan usia seseorang
dianggap baligh sebagai berikut :
و قال الحنفية ثمان عشرة في الغلام و
سبع عشرة في الجارية
Anak
laki-laki dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak
perempuan.
Sedangkan ulama dari golongan Imamiyyah menyatakan :
و قال الإمامية خمس عشرة في الغلام و
تسع في الجارية
Anak
laki-laki dianggap baligh bila berusia 15 tahun dan 9 tahun bagi anak perempuan.
Terhadap anak perempuan yang berusia 9 tahun, maka terdapat
dua pendapat. Pertama, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa anak perempuan yang berusia 9 tahun hukumnya sama seperti anak
berusia 8 tahun sehingga dianggap belum baligh. Kedua, ia dianggap
telah baligh karena telah memungkinkan untuk haid sehingga diperbolehkan melangsungkan
perkawinan meskipun tidak ada hak khiyar baginya sebagaimana dimiliki oleh
wanita dewasa.
Mengingat, perkawinan merupakan akad/perjanjian yang sangat
kuat (miitsaqan ghalizan) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya
untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dengan penuh keadilan,
keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Perkawinan sebagai salah satu bentuk pembebanan hukum tidak
cukup hanya dengan mensyaratkan baligh (cukup umur) saja. Pembebanan hukum
(taklif) didasarkan pada akal (aqil, mumayyiz), baligh (cukup umur) dan
pemahaman. Maksudnya seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia
berakal dan dapat memahami secara baik terhadap taklif yang ditujukan
kepadanya. Jadi penulis lebih sepakat bahwa syarat calon mempelai adalah
mukallaf.
Terkait dengan prinsip kedewasaan dalam perkawinan, para
ulama cenderung tidak membahas batasan usia perkawinan secara rinci namun lebih
banyak membahas tentang hukum mengawinkan anak yang masih kecil.
Perkawinan anak yang masih kecil dalam fiqh disebut nikah
ash shaghir/shaghirah atau az-zawaj al mubakkir. Shaghir/shaghirah secara
literal berarti kecil. Akan tetapi yang dimaksud dengan shaghir/shaghirah
adalah laki-laki/perempuan yang belum baligh.
Perkawinan di bawah umur tidak lepas dari hak ijbar yaitu
hak wali (ayah/kakek) mengawinkan anak perempuannya tanpa harus mendapatkan
persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan yang akan dikawinkan
tersebut, asal saja ia bukan berstatus janda.
Seorang ayah bisa mengawinkan anak perempuannya yang masih
kecil dan perawan selama belum baligh tanpa izinnya dan tidak ada hak khiyar
bagi anak perempuan itu jika dia telah baligh. Sebaliknya, ayah tidak
boleh mengawinkan anak laki-lakinya yang masih kecil.
Meskipun demikian, seorang anak perempuan tidak langsung
dapat disenggamai oleh suaminya jika masih terlalu kecil sehingga dia cukup
dewasa untuk melakukan hubungan layaknya suami isteri.
Ulama yang membolehkan wali untuk mengawinkan anak perempuannya
yang masih di bawah umur ini pada umumnya berlandaskan pada riwayat bahwa Abu
Bakar ra. mengawinkan Siti ‘Aisyah ra. dengan Rasulullah SAW.
حدثنا يحيى بن يحيى و اسحق و ابراهيم
و ابو بكر و ابو كريب قال يحيى و اسحق أخبرنا و قال الآخران حدثنا ابو معاوية عن
الأعمش عن الأسود عن عائشة قالت تزوجها رسول الله صلى الله عليه و سلم و هي بنت ست
و بنى بها و هي بنت تسع و مات عنها و هي بنت ثمان عشرة (رواه مسلم)
“Telah
menceritakan kepadaku Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi
Syaibah dan Abu Karib. Yahya dan Ishaq telah berkata : Telah menceritakan
kepada kami dan berkata al Akhrani : Telah menceritakan kepadaku Abu Mu’awiyah
dari al A’masyi dari al Aswad dari ‘Aisyah ra. berkata : Rasulullah SAW
mengawiniku pada saat usiaku 6 tahun dan hidup bersama saya pada usiaku 9 tahun
dan beliau wafat saat usiaku 18 tahun (HR. Muslim)
Abu Bakar ra. telah mengawinkan ‘Aisyah dengan Rasulullah
SAW sewaktu masih anak-anak tanpa persetujuannya lebih dahulu. Sebab pada umur
demikian persetujuannya tidak dapat dianggap sempurna. Namun, mengenai
perkawinan ‘Aisyah ra. dengan Nabi Muhammad SAW, sebagian ulama berpendapat
bahwa hal itu merupakan perkecualian atau kekhususan bagi Rasulullah SAW
sendiri sebagaimana Rasulullah SAW dibolehkan beristeri lebih dari empat orang
yang tidak boleh diikuti oleh umatnya.
Pendapat lain menyatakan bahwa perkawinan Rasulullah SAW
dengan ‘Aisyah lebih bermotif dakwah dan memberikan kebebasan bagi Abu Bakar
ra. memasuki rumah tangga Rasulullah SAW. Walaupun demikian, hak ijbar ayah
atau kakek tidak serta merta dapat dilaksanakan dengan sekehendak sendiri.
Ulama’ Syafi’iyyah mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah
umur disyaratkan adanya kemashlahatan (kepentingan yang baik). Sedangkan untuk
anak perempuan diperlukan beberapa syarat antara lain:
1. Tidak ada permusuhan
yang nyata antara si anak perempuan dengan walinya yaitu ayahnya atau kakeknya.
2. Tidak ada permusuhan
(kebencian) yang nyata antara dia dan calon suaminya.
3. Calon suami harus kufu
(sesuai/setara).
4. Calon suami mampu
memberikan maskawin yang pantas.
Ibn Syubrumah memiliki pandangan yang berbeda dengan
pandangan mayoritas ulama di atas. Beliau berpandangan bahwa anak laki-laki
ataupun anak perempuan di bawah umur tidak dianjurkan untuk dikawinkan. Mereka
hanya boleh dikawinkan setelah mencapai usia baligh dan melalui persetujuan
yang berkepentingan secara eksplisit.
Firman Allah
SWT :
“Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya” (QS. An Nisa : 6)
Perkawinan di bawah umur tidak dianjurkan mengingat mereka
dianggap belum memiliki kemampuan untuk mengelola harta (rusyd). Selain
itu, mereka juga belum membutuhkan perkawinan. Mereka dikhawatirkan tidak mampu
memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dipikul dalam kehidupan sebagai
suami istri terutama dalam pengelolaan keuangan rumah tangga.
Sedangkan bagi anak perempuan kecil yang sudah janda (baik
karena ditinggal mati suaminya atau bercerai) maka walinya tidak boleh
mengawinkannya kembali demikian pula bagi orang lain (wali selain ayah) untuk
mengawinkannya sampai ia baligh. Jadi, anak kecil yang sudah janda
kedudukannya sama dengan janda yang telah dewasa yaitu ia memberikan izin saat
akan dikawinkan.
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا سفيان عن
زياد بن سعد عن عبد الله ابن الفضل سمع نافع بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما
ان النبي صلى الله عليه و سلم قال الثيب أحق بنفسها من وليها و البكر تستأمر و
إذنها سكوتها (رواه مسلم)
“Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id : Telah menceritakan kepada kami
Sufyan dari Ziyad bin Sa’ad dari Abdillah ibn Al Fadhli : Telah mendengar Nafi’
bin Jabir dengan khabar dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwasanya Nabi SAW telah bersabda
: Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan perawan harus
dengan izinnya dan izinnya ialah diamnya” (HR. Muslim)
B. Batas Umur Perkawinan
Menurut Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sebelum
adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
menggariskan batas umur perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 29
menyatakan bahwa laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun
penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak
dapat mengadakan perkawinan.
Sedangan batas kedewasaan seseorang berdasarkan KUHPerdata
pasal 330 adalah umur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah kawin. Namun,
berdasarkan Ketentuan Penutup Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 66 bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya
Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan tidak berlaku.
Salah satunya adalah tidak berlakunya ketentuan batas umur
perkawinan karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga
mengatur tentang batas umur perkawinan. Salah satu prinsip yang
dianut oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah prinsip
kematangan calon mempelai. Kematangan calon mempelai ini diimplementasikan
dengan batasan umur perkawinan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7
ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun. Pada usia tersebut, baik pria maupun wanita diasumsikan
telah mencapai usia minimal untuk melangsungkan perkawinan dengan segala
permasalahannya.
Selain itu, Undang-Undang Perkawinan juga menentukan batas
umur selain ketentuan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.
Undang-undang perkawinan pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa untuk melangsungkan
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat
izin kedua orang tua.
Instruksi Mendagri Nomor 27 Tahun 1983 tentang Usia
Perkawinan dalam Rangka Mendukung Program Kependudukan dan Keluarga Berencana
menyebutkan bahwa perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan
pada usia di bawah 20 tahun bagi wanita dan di bawah 25 tahun bagi pria.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 Ayat (1) dijelaskan
bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur
16 tahun. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mempunyai
hubungan erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan umur
perkawinan baik bagi pria maupun wanita diharapkan laju angka kelahiran
dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian, program Keluarga Berencana
Nasional dapat berjalan seiring dan sejalan dengan Undang-undang ini.
Pada dasarnya penetapan batas usia perkawinan memang
bertujuan demi kemaslahatan dan kebaikan terutama bagi calon mempelai. Dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Nomor 4
Huruf (d) dijelaskan bahwa prinsip calon mempelai harus masak jiwa raganya
dimaksudkan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena
itu, perkawinan di bawah umur harus dicegah.
Dengan ketentuan ini, maka penetapan batas usia perkawinan
dalam Undang-Undang Perkawinan bersifat kaku. Artinya, tidak memberikan peluang
bagi siapapun untuk melakukannya. Meskipun telah ditetapkan batasan umur
namun masih terdapat penyimpangan dengan melakukan perkawinan di bawah umur.
Terhadap penyimpangan ini, Undang-Undang Perkawinan memberikan jalan keluar
berupa dispensasi kawin kepada pengadilan. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama
Nomor 3 Tahun 1975 bahwa Dispensasi Pengadilan Agama ialah penetapan yang
berupa dispensasi untuk calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan atau
calon istri yang belum berumur 16 tahun yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama.
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
memutuskan/menetapkan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Adapun perangkat
Pengadilan Agama yang berwenang menetapkan dispensasi kawin adalah hakim.
Permohonan dispensasi kawin ditujukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat kediaman pemohon. Dan dalam surat permohonan itu harus dijelaskan
alasan-alasan serta keperluan/maksud permohonan itu serta dengan siapa rencana
perkawinan termaksud.
Untuk mengetahui kelayakan calon mempelai yang akan
melangsungkan perkawinan di bawah umur, maka dilakukanlah persidangan dengan
acara singkat. Dalam penetapan dispensasi kawin, hakim mempertimbangkan antara
lain kemampuan, kesiapan, kematangan pihak-pihak calon mempelai sudah
cukup baik mental dan fisik. Hakim menetapkan dispensasi kawin harus
didasarkan atas pertimbangan yang rasional dan memungkinkan untuk memberikan
dispensasi kawin kepada calon mempelai.
Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan dan
berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan
dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi kawin dengan
suatu penetapan.
C. Motivasi
Pernikahan Dini
Adapun hasil wawancara penulis
dengan beberapa pasangan yang melakukan praktek nikah
di bawah umur di Desa Bandar Khalifah. Yang
diambil dari 7 orang dari 6 pasangan, dengan beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya pernikahan dini antara lain :
1.
Faktor ekonomi
Adanya perkawinan usia muda di Desa Bandar Khalifah sebagian besar disebabkan kerena kondisi
ekonomi keluarga yang kurang. Para orang tua yang menikahkan anaknya pada usia
muda mengganggap bahwa dengan menikahkan anaknya beban ekonomi keluarga akan berkurang
satu. Hal ini disebabkan karena jika anak sudah menikah, maka akan menjadi
tanggung jawab suaminya. Bahkan para orang tua berharap jika anaknya sudah
menikah dapat membantu kehidupan orang tuanya.
2.
Faktor Kemauan Sendiri
Selain
faktor ekonomi, perkawinan usia muda di Desa Bandar Khalifah disebabkan adanya kemauan sendiri dari pasangan. Hal
ini disebabkan karena keduanya sudah merasa saling mencintai maka ada keinginan
untuk segera menikah tanpa memandang umur dan adanya pengetahuan anak yang
diperoleh dari film atau media-media yang lain, sehingga bagi mereka yang telah
mempunyai pasangan atau kekasih terpengaruh untuk melakukan pernikahan di usia
muda.
3.
Faktor Pendidikan
Rendahnya
pendidikian juga merupakan faktor terjadinya pernikahan usia muda. Para orang
tua yang hanya bersekolah hingga tamat SD merasa senang jika anaknya sudah ada
yang menyukai, dan orang tua tidak mengetahui adanya akibat dari perkawinan
muda ini.
Disamping
perekonomian yang kurang pendidikan orang tua yang rendah, akan membuat pola
pikir yang sempit. Sehingga akan mempengaruhi orang tua untuk segera menikahkan
anak perempuannya.
4.
Faktor keluarga
Faktor
keluarga merupakan faktor adanya perkawinan usia muda, dimana keluarga dan
orang tua akan segera menikahkan anaknya jika sudah menginjak besar. Hal ini
merupakan hal yang sudah biasa atau turun-temurun. Sebuah keluarga yang
mempunyai anak gadis tidak akan merasa tenang sebelum anak gadisnya menikah.
Orang tua akan merasa takut apabila anaknya jadi perawan tua dan takut apabila
anaknya akan melakukan ha-hal yang tidak diinginkan yang akan mencemari nama
baik keluarganya. Jika si anak belum juga mendapatkan jodohnya, maka orang tua
ikut mencarikan jodoh buat anaknya dengan catatan jodoh yang akan di berikannya
itu sesuai dengan keinginan anaknya atau disetujui oleh anaknya.
Sepintas kita lihat bahwa pernikahan dini banyak dilakukan oleh para orang
tua tanpa memikirkan bagaimanakah keadaan anaknya setelah berumah tangga yang
penting bagi mereka anaknya sudah menikah dan sudah ada yang mau menanggung
kebutuhan anak perempuannya serta orang tua berharap dari perkawinan yang telah
dilangsungkannya itu anaknya itu dapat membantu kebutuhan orang tuanya.
D. Dampak Positif dan Negatif Perkawinan Dini
Setiap
melakukan sesuatu pasti akan menimbulkan dampak positif dan negatif, demikian
pula halnya dengan perkawinan yang dilakukan di usia dini. Dampak positif
perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur antara lain :
Dukungan emosional: Dengan dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan
emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan (ESQ).
Dukungan keuangan: Dengan menikah di usia dini dapat meringankan beban
ekonomi menjadi lebih menghemat.
Kebebasan yang lebih: Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan mereka
bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk menjalani hidup mereka secara
finansial dan emosional.
Belajar memikul tanggung jawab di usia dini: Banyak pemuda yang waktu masa
sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil dikarenakan ada orang tua mereka,
disini mereka harus dapat mengatur urusan mereka tanpa bergantung pada orang
tua.
Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.
Sedangkan
dampak negatifnya :
Dari segi pendidikan: Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa
seseorang yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu
akan membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Dapat diambil
contoh, jika sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP atau
SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh pendidikan
yang lebih tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut dapat terjadi karena
motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena
banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain,
pernikahan dini dapat menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.
Selain itu belum lagi masalah ketenaga kerjaan, seperti realita yang ada
didalam masyarakat, seseorang yang mempunyai pendidikan rendah hanya dapat
bekerja sebagai buruh saja, dengan demikian dia tidak dapat mengeksplor
kemampuan yang dimilikinya.
Dari segi kesehatan: Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah
Sakit Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG mengatakan, perempuan yang
menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak risiko, sekalipun ia
sudah mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang ditimbulkan
oleh pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya.
penyakit kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara
lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena
terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa yang terlalu cepat.
Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang tumbuh pada anak-anak baru akan
berakhir pada usia 19 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, rata-rata penderita
infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita yang menikah di usia
dini atau dibawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk risiko kebidanan, wanita yang
hamil di bawah usia 19 tahun dapat berisiko pada kematian, selain kehamilan di
usia 35 tahun ke atas. Risiko lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan
terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa
kehamilan. Selain itu, risiko meninggal dunia akibat keracunan kehamilan juga
banyak terjadi pada wanita yang melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab
keracunan kehamilan ini adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini akan membawa banyak
kerugian. Maka itu, orangtua wajib berpikir masak-masak jika ingin menikahkan
anaknya yang masih di bawah umur. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan
sebagai bentuk kekerasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat
mengalami trauma.
Dari segi psikologi: Menurut para psosiolog, ditinjau dari sisi sosial,
pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh
emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang.
Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak
negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19
tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
E. Kesimpulan
Meskipun para ulama memiliki standar umur perkawinan yang
berbeda, namun intinya prinsip kematangan dan kedewasaan sangat diperhatikan.
Dengan demikian keabsahan perkawinan tidak semata-mata karena terpenuhinya
rukun melainkan berkembang pada pemenuhan syarat-syarat perkawinan.
Majelis Ulama’ Indonesia memberikan fatwa bahwa usia
kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul
ada’ dan ahliyyatul wujub).
Ahliyyatul Ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah
dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya baik
perbuatan yang bersifat positif maupun negatif.
Ahliyyatul Wujub adalah sifat kecakapan seseorang
untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya dan belum cakap untuk dibebani
seluruh kewajiban.
Kebijakan negara dalam mengatur regulasi usia perkawinan
merupakan sebuah kebijakan yang harus dipertahankan, sebagai bentuk preventif
melonjaknya angka perceraian akibat pernikahan dini dimana kedua pasangan
memang belum memenuhi kesiapan fisik dan mental untuk melangsungkan perkawinan.
UU ini telah
merumuskan prinsip-prinsip perkawinan, diantaranya adalah calon suami dan istri
harus masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan dengan baik tanpa berpikir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat pula
Namun hemat penulis sebagai akademisi khususnya seyogyanya harus
berani melakukan perubahan hukum terkait batasan usia nikah, melihat
perkembangan fisik dan mental anak-anak masa kini yang terkesan mengalami
percepatan pertumbuhan terkhusus dalam mengenal pasangan.
Daftar Pustaka
http://aliranim.blogspot.co.id/2012/08/dampak-positif-dan-negatif-pernikahan.html.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta :
Hidakarya Agung, 1985.
Mughniyyah, Muhammad Jawad, al Ahwal al Syakhsiyyah, Beirut : Dar al 'Ilmi lil Malayain,
tt.
Muhammad, Hussein, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana
Agama dan Gender), Yogyakarta : LKiS, 2007.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Rajawali
Press, Cet. VI, 2003.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al Misbah, Vol. IX. Jakarta :
Lentera Hati, 2005, Cet. IV.
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh,
Bandung : Pustaka Setia, 1999.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta : Prenada Media,
2008. Cet. III.
