MANUSIA DAN AGAMA
OLEH :
Ahmat Faury, S.H.I.,LL.M
A.
Manusia dan Alam Semesta
Dari sudut pandang manusia, yang ada
adalah Allah Sang Pencipta dan alam semesta yang diciptakan Allah. Sebelum
Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, alam semesta telah
diciptakan-Nya dengan tatanan kerja yang teratur, rapi, dan serasi.
Keteraturan, kerapian, dan keserasian ini dapat dilihat dari dua kenyataan:
Pertama,berupa keteraturan, kerapian, dan keserasian dalam hubungan alamiah
antara bagian-bagian di dalamnya dengan pola saling melengkapi dan mendukung;
Kedua, keteraturan yang ditugaskan kepada malaikat untuk menjaga dan
melaksanakannya. Kedua hal itulah yang membuat berbagai keteraturan, kerapian,
dan keserasian yang kita yakini sebagai Sunnatullah yakni
ketentuan dan hukum yang ditetapkan Allah. Seperti pada matahari sebagai pusat
dari sistem tata surya, berputar pada sumbunya dan memancarkan energinya kepada
alam semesta secara teratur dan tetap.
Ada tiga sifat utama Sunnatullah yang
disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu: pasti, tetap, dan obyektif. Sifat yang
pertama, yaitu pasti, tentu menjamin dan memberi kemudahan kepada manusia
membuat rencana, sehingga dapat membuat perhitungan yang tepat menurut Sunnatullah:
"… Dia telah menciptakan sesuatu, dan Dia (pula yang)
memastikan (menentukan) ukurannya dengan sangat rapi." (QS 25:2)
"… Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian)
bagi tiap sesuatu." (QS 65:3)
Sifat yang kedua adalah tetap, tidak
berubah-ubah:
"… Tidak ada yang sanggup menggubah kalimat-kalimat
Allah." (QS 6:115)
"… Dan engkau tidak akan menemui perubahan dalam Sunnah kami …" (QS 17:77)
"… Dan engkau tidak akan menemui perubahan dalam Sunnah kami …" (QS 17:77)
Sifat yang ketiga adalah obyektif:
"…, bahwasanya dunia ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku
yang saleh." (QS 21:105)
Demikianlah alam semesta diciptakan
Allah dengan hukum-hukum yang berlaku baginya yang (kemudian) diserahkan-Nya
kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan, sebagai khalifah.
Untuk dapat menjalankan kedudukannya itu manusia diberi bekal berupa potensi
seperti akal yang melahirkan berbagai ilmu sebagai alat untuk mengelola dan
memanfaatkan alam semesta serta mengurus bumi ini.
"Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
seluruhnya …" (QS 2:31)
Dengan akal dan ilmu yang
dikuasainya, manusia akan mampu mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta
bumi ini untuk kepentingan manusia serta makhluk lain. Atas pelaksanaan amanat
tersebut manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat apakah telah
mengikuti dan mematuhi pola dan garis besar yang diberikan melalui para nabi
dan rasul yang termuat dalam ajaran agama.
Manusia Menurut Agama Islam
Al-Qur’an tidak menggolongkan
manusia ke dalam kelompok hewan selama manusia mempergunakan akal dan karunia
Tuhan lainnya. Namun bila manusia tidak mempergunakan akal dan berbagai potensi
pemberian Tuhan yang sangat tinggi nilainya seperti: pemikiran, kalbu, jiwa,
raga, serta pancaindera secara baik dan benar, ia akan menurunkan derajatnya
sendiri menjadi hewan:
"… Mereka (manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk
memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), punya telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka (manusia) yang seperti itu sama (martabatnya) dengan hewan
bahkan lebih rendah (lagi) dari binatang." (QS 7:179)
Di dalam Al-Qur’an manusia disebut
antara lain dengan al-insan (QS 76:1), an-nas (QS
114:1),basyar (QS 18:110), bani adam (QS 17:70).
Berdasarkan studi isi Al-Qur’an dan Al-Hadits, manusia (al-insan) adalah
makhluk ciptaan Allah yang memiliki potensi untuk beriman kepada Allah dan
dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta
mengamati gejala-gejala alam, mempunyai rsa tanggung jawab atas segala perbuatannya
dan berakhlak (N.A. Rasyid, 1983: 19). Berdasarkan rumusan tersebut, manusia
mempunyai berbagai ciri sebagai berikut:
- Makhluk yang paling unik,
dijadikan dalam bentuk yang sangat baik, ciptaan Tuhan yang paling
sempurna.
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya." (QS 95:4)
- Manusia memiliki potensi (daya
atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada Allah.
"… ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ " (QS 7:172)
- Manusia diciptakan Allah untuk
mengabdi kepada-Nya.
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku." (QS 51:56)
- Manusia diciptakan Tuhan untuk
menjadi khalifahnya di bumi.
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
‘Sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ … " (QS
2:30)
- Manusia dilengkapi akal,
perasaan, dan kemauan atau kehendak.
"Dan katakanlah: ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir.’ …" (QS 18:29}
- Manusia secara individual
bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
"… Setiap orang (manusia) terikat (bertanggung jawab) terhadap
apa yang dilakukannya." (QS 52:21)
- Manusia itu berakhlak.
Manusia menurut agama Islam, terdiri
dari dua unsur, yaitu unsur materi berupa tubuh yang berasal dari tanah dan
unsur immateri berupa roh yang berasal dari alam gaib. Al-Qur’an mengungkapkan
proses penciptaan manusia:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal dari) tanah [12]. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) [13]. Kemudian air mani itu
Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan ia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha Suci-lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik [14].
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah [7]. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina (air mani) [8]. Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi Kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur
[9]." (QS 23:12-14, 32:7-9)
Sedangkan menurut hadits, Rasulullah
bersabda:
"Sesungguhnya, setiap manusia dikumpulkan kejadiannya dalam
perut ibunya selama empat puluh hari sebagai nuthfah (air mani), empat puluh
hari sebagai ‘alaqah (segumpal darah), selama itu pula sebagai mudhghah
(segumpal daging). Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke
dalam tubuh manusia, yang berada dalam rahim itu" (HR Bukhari dan Muslim)
Ali Syari’ati – sejarawan dan ahli
sosiologi Islam terkemuka – mengemukakan pendapatnya mengenai intrepretasi
hakikat kejadian manusia. Manusia menpunyai dua dimensi: dimensi ketuhanan
(kecendrungan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah) dan dimensi
kerendahan atau kehinaan (lumpur mencerminkan keburukan-kehinaan). Karena
itulah manusia dapat mencapai derajat yang tinggi namun dapat pula terperosok
dalam lembah yang hina, yang manusia dibebaskan untuk memilihnya.
Ali Syari’ati memberikan makna
tentang filsafat manusia:
- Manusia tidaklah sama (konsep
hukum), tetapi bersaudara (asal kejadian).
- Manusia mempunyai persamaan
antara pria dan wanita (sumber yang sama yakni dari Tuhan).
- Manusia mempunyai derajat yang
lebih tinggi dari malaikat karena pengetahuan yang dimilikinya.
- Manusia memiliki fenomena
dualistis: terdiri dari tanah dan roh Tuhan, yang terdapat kebebasan pada
dirinya untuk memilih.
Atas kebebasan memilih tersebut,
manusia bergerak dalam spektrum yang mengarah ke jalan Tuhan atau sebaliknya
mengarah ke jalan setan. Manusia dengan akalnya sebagai suatu hidayah Allah
kepada-Nya , memilih apakah ia akan terbenam dalam lumpur kehinaan atau menuju
ke kutub mulia ke arah Tuhan. Dalam menentukan pilihan manusia memerlukan
petunjuk yang benar yang terdapat dalam agama Allah yaitu agama Islam, yang
menyeimbangkan antara dunia dan akherat.
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah
Islam …" (QS 3:19)
Manusia sebagai makhluk Ilahi hidup
dan kehidupannya berjalan melalui lima tahap: (1) alam gaib, (2) alam rahim,
(3) alam dunia, (4) alam barzakh, dan (5) alam akherat. Dari kelima
tahapan kehidupan manusia itu, tahap kehidupan di dunia merupakan tahap yang
menentukan tahap kehidupan selanjutnya, sehingga manusia dikaruniai Allah
dengan berbagai alat perlengkapan dan bekal agar dapat menjalankan tugas
sebagai khalifah di bumi, serta pedoman agar selamat sejahtera
di dunia dalam perjalanannya menuju tempatnya yang kekal di akherat nanti.
Pedoman itu adalah agama.
Sesunguhnya manusia diciptakan Allah
untuk beribadah kepada-Nya. Apa arti ibadah? Apakah secara ritual menyembah
Allah, shalat lima waktu, puasa, zakat, dan berhaji saja? Bila memang itu
maknanya, lalu bagaimana dengan usaha mempertahankan hidup? Apakah hanya dengan
shalat maka hidangan akan disediakan Allah begitu saja? Tentu tidak, kita
sebagai manusia harus berusaha memperoleh makan dan minum. Sebagai manusia kita
harus bekerja untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Bila
ibadah hanya diartikan sebatas pada ibadah ritual belaka dan tidak memasukkan
bekerja sebagai suatu ibadah pula, maka merugilah manusia karena hanya sedikit
dari waktunya untuk beribadah, bila dibandingkan ibadah dalam artian luas yang
tidak terbatas pada ibadah ritual belaka. Tujuan ibadah:
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan
orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa." (QS 2:21)
Prof.DR. M. Mutawwali As-Sya’rani
mengutarakan bahwa: manusia diberi sarana oleh-Nya, diberi bumi yang tunggal dan
beribadah pada-Nya, Alah telah memberi kewajiban-kewajiban, karenanya Allah
meminta hak agar manusia beribadah kepada-Nya dengan tujuan agar manusia dapat
terhindar dari soal-soal buruk yang merugikan di dunia.
Agama: Arti dan Ruang Lingkupnya
Sesuai dengan asal muasal katanya
(sansekerta: agama,igama, dan ugama) maka makna agama dapat diutarakan sebagai
berikut: agama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia dengan
raja; igama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan dengan dewa-dewa;
ugama artinya peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang merupakan
perubahan arti pergi menjadi jalan yang juga terdapat dalam pengertian agama
lainnya. Bagi orang Eropa, religionhanyalah mengatur hubungan tetap
(vertikal) anatar manusia dengan Tuhan saja. Menurut ajaran Islam,
istilah din yang tercantum dalam Al-Qur’an mengandung
pengertian hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan
manusia dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya
(horisontal).
"… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama(din)
bagimu …" (QS 5:3)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia
…" (QS 3:112)
Persamaan istilah agama tidak dapat
dijadikan alasan untuk menyebutkan bahwa semua agama adalah sama, karena adanya
perbedaan makna atas istilah agama tersebut, yang berbeda atas sistem, ruang
lingkupnya, dan klasifikasinya.
Karena agama merupakan kepentingan
mutlak setiap orang dan setiap orang terlibat dengan agama yang dipeluknya maka
tidaklah mudah untuk membuat suatu defenisi yang mencakup semua agama, namun
secara umum dapat didefenisikan sebagai berikut: agama adalah kepercayaan
kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan-Nya melalui
upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut
atau berdasarkan ajaran agama itu.
Hubungan Manusia dengan Agama
Tujuan penciptaan manusia adalah
untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta alam semesta. Allah sendiri yang
mencipta dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah kepada-Nya, juga
menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut
diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga
Muhammad SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut hanya menerima Allah sebagai
Tuhan mereka dan Islam sebagai panduan kehidupan mereka. Beribadah diartikan
secara luas meliputi seluruh hal dalam kehidupan yang ditujukan hanya kepada
Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah panduan bagi manusia menuju
kebahagiaan dunia dan akherat. Islam telah mengatur berbagai perihal dalam
kehidupan manusia. Islam merupakan sistem hidup, bukan sekedar agama yang
mengatur ibadah ritual belaka.
Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan
kaum muslim tidak memahami hal ini. Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana
para penganut agama lain memahami ajaran agama mereka masing-masing, yakni bahwa
ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat ibadah dan dilaksanakan secara
ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut biasanya
disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan pembaruan di Eropa yang
fikenal sebagai Renaissance dan Humanisme, sebagai
reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum gereja pada masa abad pertengahan
atau Dark Ages, kaum gereja mendirikan mahkamah inkuisisi yang
digunakan untuk menghabisi para ilmuwan, cendikiawan, serta pembaharu. Setelah
itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya
berkuasa di gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan rajalah yang
berkuasa. Pahamdikotomis ini kemudian dibawa ke Asia melalui
penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa; Kedua, masih adanya
ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan syariat-syariat Islam, tidak
dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak
melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat
selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan
masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat
Islam dan menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari
syariat Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme
tersebut antara lain dipengaruhi terutama oleh pemikiran August Comte melalui
bukunya Course de la Philosophie Positive (1842) mengemukakan
bahwa sepanjang sejarah pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap: (1)
tahap teologik, (2) tahap metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut
melahirkan filsafat positivisme yang mempengaruhi ilmu
pengetahuan sosial dan humaniora, melalui sekularisme. Namun teori
tersebuttidaklah benar, sebab perkembangan pemikiran manusia tidaklah
demikian, seperti pada zaman modern ini (tahap ketiga), manusia masih tetap
percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat
menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan agama dan mengutamakan ilmu dan akal
manusia semata-mata telah membawa krisis dan malapetaka. Atas pengalamannya
tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada agama, karena: (1) Ilmuwan yang
selama ini meninggalkan agama, kembali pada agama sebagai pegangan hidup yang
sesungguhnya, dan (2) harapan manusia pada otak manusia untuk memecahkan segala
masalah di masa lalu tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah
membawa manusia pada tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, namun dampak
negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan manusia secara
keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal tersebut diperlukan agama,
untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat
menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Agama Islam adalah
agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya memahami
ayat-ayat kauniyah(Sunnatullah) yang terbentang di alam
semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam
Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan
manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna,
dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
Referensi
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah
dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998.
