KAWIN PAKSA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
Oleh : Ahmat Faury,
S.H.I.,LL.M
A.
Pendahuluan
Didalam perkawinan terdapat aturan yang diberikan Allah untuk mengangkat
derajat manusia di atas makhluk-makhlukNya yang lain. Dengan pernikahan
pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat. Dalam pernikahan,
ikatan suami-istri adalah ikatan yang paling suci dan paling kokoh atau disebut
dengan Mitsaqon
Ghalizhan (perjanjian
yang kokoh)[1]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 19 tentang Wali Nikah disebutkan bahwa, wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahkannya. Selanjutnya dalam KHI pasal 20 menyebutkan tentang dua
macam wali nikah; pertama, wali nasab yang terdiri dari empat kelompok
yaitu laki-laki garis lurus keatas, kerabat laki-laki ayah, anak paman
laki-laki dari ayah, dan saudara kandung laki-laki kakek dari ayah serta
keturunannya. Kedua, wali hakim, mengenai wewenang wali hakim yang dapat
menikahkan hanya dalam beberapa momen - momen tertentu, seperti terjadinya
pertentangan di antara para wali, wali nasab tidak ada, baik karena gaib atau
karena meninggal dunia atau karena walinya ‘adhal atau enggan.[2]
Karena pernikahan diartikan dengan suatu
akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan suka rela dan
kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang
diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang di
ridhloi Allah SWT. Sehingga dari pengertian tersebut jelaslah bahwa
berlangsungnya sebuah pernikahan haruslah diiringi dengan kerelaan antar calon
pengantin. Namun pada kenyataannya di zaman sekarang ini masih banyak terjadi
nikah secara paksa, hal tersebut akan mengakibatkan ikatan perkawinannya tidak
sejahtera, dan berakhir dengan perceraian.
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan memaparkan tentang
tinjauan hukum islam terhadap kawin paksa, sekalipun makalah ini tentu penuh
dengan keterbatasan sehingga masih sangat membutuhkan kritik dan saran yang
membangun dari rekan-rekan mahasiswa terkhusus Bapak Dosen Pembimbing.
B.
Kawin Paksa Dalam Fikih Islam
Secara
tekstual istilah kawin paksa tidak disebutkan dalam berbagai literatur fikih,
demikian pula dalam Alquran dan Sunnah. Namun dalam kajian perwalian istilah
ijbar atau mujbir adalah salah satu persoalan yang cukup menarik untuk dikaji,
karena pemahaman dari istilah itulah kemudian muncul istilah kawin paksa,
dimana hak ijbar ini dipandang sebagai hak memaksakan suatu perkawinan oleh
orang lain yang dalam hal ini adalah ayahnya.
Adapun
pengertian ijbar sendiri adalah suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atas
dasar tanggung jawab.[3]
Didalam
fikih islam, istilah ijbar sendiri erat kaitannya dengan perkawinan. Dalam
fikih Syafi'I disebutkan bahwa orang yang memiliki hak ijbar adalah ayah atau
jika ayah tidak ada kakeklah yang berhak. Maka apabila ayah adalah orang yang
memiliki hak ijbar tentu ayah adalah orang yang memiliki kekuasaan atau hak
untuk mengawinkan anak perempuannya meskipun tanpa persetujuan anak
perempuannya dan perkawinan itu sah secara hukum.
Dengan
memahami ijbar diatas dapat diambil kesimpullan bahwa kekuasaan seorang ayah
terhadap gadisnya untuk menikah dengan seorang laki-laki bukanlah suatu
tindakan memaksakan keinginannya sendiri dengan tidak memperhatikan kerelaan si
gadis melainkan sebatas mengawinkan, dengan asumsi dasar bahwa anak
perempuannya belum atau tidak memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri.[4]
Ditegaskan dalam kitab Hasyiah
Bujairami dan kitab al-Iqna’ karangan Khatib Al-Syarbini bahwa seorang ayah
atau kakek bisa menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Tidak ada permusuhan antara ayah
dan gadis tersebut. Artinya tidak terbukti ada unsur penganiayaan dan
kepentingan sepihak dalam pernikahan tersebut;
2. Sang ayah menikahkanya dengan
orang yang sepadan dengannya (kafa’ah).
3. Ayah menikahkannya dengan mahar
mitsil (yaitu senilai mahar atau lebih mahal dari mahar yang diterima ibu sang
gadis);
4. Mahar harus dengan valuta yang
berlaku di negeri dimana mereka hidup;
5. Suaminya harus mampu membayar
mahar tersebut;
6. Ayah tidak menikahkanya dengan
seseorang yang membuat gadis tersebut menderita, misalnya seorang yang buta
atau orang yang sudah tua;
7. Gadis tersebut belum wajib
melaksanakan haji, karena kalau sudah wajib akan tertunda hajinya oleh pernikahan
tersebut;
Ulama Wali Iraqi menambahkan satu
syarat lagi, yaitu tidak ada permusuhan antara gadis dan lelaki yang dinikahkan
dengannya. Melihat syarat-syarat tersebut, secara jelas dapat dipahami bahwa
inti dari syarat tersebut adalah tidak adanya keberatan dari pihak gadis untuk
menerima nikah tersebut dan itu artinya adalah atas persetujuannya.
Dengan demikian juga dapat difahami
bahwa mazhab Syafii sebenarnya juga mengatakan bahwa nikah paksa tidak sah
kecuali mendapatkan persetujuan dari si gadis. Sekiranya gadis tersebut
ternyata menerima dan tidak menolak maka tidak perlu dilakukan pengulangan akad
nikah.
C.
Kawin paksa dalam hukum positif
Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merupakan sumber hukum positif bagi umat
islam di indonesia, menganut prinsip atau asas kesukarelaan dalam perkawinan
sebagaimana yang dianut dalam hukum islam sendiri.
Dalam
pasal 2 ayat 6 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan
bahwa perkawinan haruslah didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai dan
persetujuan tersebut haruslah dilakukan atas kehendak bebas tanpa paksaan dari
calon mempelai pria atau pihka lainnya.
Meskipun
tidak dijelaskan secara rinci oleh hukum positif mengenai pengertian kawin
paksa, namun dari konsep kesukarelaan atau persetujuan bebas dan tanpa paksaan
dari calon kedua mempelai. Dapat dijelaskan bahwa kawin paksa adalah suatu
perkawinan yang terjadi karena adanya unsur paksaan dari orang lain yang dalam
hal ini adalah orang tuanya, dimana orang tua memaksa anaknya untuk menikah
dengan orang pilihannya tanpa adanya persetujuan atau kerelaan dari anaknya
tersebut. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kawin paksa sendiri diartikan sebagai
kawin tidak dengan kemauannya sendiri atau perkawinan yang terjadi atas adanya
desakan atau tekanan.[5]
[2] Anonim, Undang-undang Perkawinan di Indonesia,
dilengkapi KHI Di Indonesia (Surabaya: Arkola, t.th), h. 185-186.
[3] Husain Muhammad, Fikih Perempuan "Refleksi Kiai atas wacana
agama dan gender, (Yogyakarta: LKIS, 2001), h. 79.
[4] Ibid., hal. 80.
[5] W.J.S. Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1984), h. 697.
