“ Analisis Peranan Keyakinan Hakim dalam Menilai Alat bukti pada Perkara Pidana “ ( Tinjauan terhadap Hukum Pidana Islam ).
OLEH :
Setelah
disahkan dan diberlakukannya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 (LN Tahun 1981
tentang kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang pelaksanaannya
telah disesuaikan dengan cita-cita hukum nasional, secara fundamental telah
dijiwai oleh penempatan manusia secara proposional pada keluhuran harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai
warga negara adalah merupakan kewajiban untuk mendukung serta melaksanakan
hukum nasional sebagai aspirasi masyarakat Indonesia, sebab negara yang
berdasar pada falsafah Pancasila dan UUD 1945 ini. Sangat menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia serta menjamin adanya perlakuan yang sama dihadapan
hukum dan pemerintahan bagi semua warga
negara.
Dalam
sistem hukum pidana dikenal ada dua hukum yaitu hukum pidana materil dan hukum
pidana formil (Hukum Acara Pidana), hukum pidana materil merupakan serangkaian
aturan yang memuat aturan-aturan perbuatan yang dapat dipidana, sedangkan hukum
pidana formil adalah serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur tentang
bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk mempidana dan menjatuhkan
pidana.
Pelaksanaan
menyelesaikan masalah yang diatur dalam hukum materil dilakukan oleh hakim
dengan berpegang kepada hukum acara. Dalam menyelesaikan masalah itu kehakiman
memiliki kekuasaan yang merdeka, (Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009) artinya tidak
ada lembaga negara lainnya yang dapat ikut campur tangan atau mempengaruhinya.
Dalam memutuskan suatu perkara pidana keyakinan hakim merupakan hal yang
esensial.
Dari
ketentuan ini dalam penjelasan resminya dikemukakan bahwa :
“Kekuasaan
Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan
kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan
kebebasan dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh
Undang-undang. Kebebasan dalam pelaksanaan wewenang yudisial tidaklah mutlak
sifatnya, karena tugas dari hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar
serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang
dihadapinya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan
rakyat Indonesia”.
Kekuasaan
kehakiman yang bebas dari campur tangan kekuasaan lembaga negara lainnya tidak
berarti dapat sewenang-wenang dan absolut menyelenggarakan tugasnya melainkan
wajib memperhatikan secara benar hal-hal yang diatur dalam undang-undang. Dalam
menyelesaikan setiap masalah yang berupa mengadili suatu perkara pidana, maka
hakim yang memiliki kebebasan dan dijamin oleh undang-undang itu tidak boleh
subjektif. Artinya kebebasan hakim dalam mengadili suatu perkara pidana wajib
mencerminkan perasaan keadilan masyarakat dan bukan perasaan keadilan hakim
sendiri. Dengan berpegang kepada obyektifitas diri disamping memperhatikan
secara wajar adanya pemilikan persamaan kedudukan hukum bagi setiap warga
negara. Maka hakim dan penegak hukum
lainnya akan dapat memberikan perasaan adil dan kebenaran dalam menyelesaikan
setiap perkara pidana.
Penerapan
hukun acara pidana secara obyektif dan tepat adalah suatu prasyarat tercapainya
tujuan hukum acara pidana yang berisikan suatu kepastian hukum dan keadilan.
Pedoman pelaksanaan KUHAP, memberi penjelasan tentang tujuan Hukum Acara Pidana sebagai
berikut:
Setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah
kebenaran yang ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan
tujuan nuntuk pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan.
Bertolak dari tujuan
KUHAP tersebut, pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan
sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa, apakah
terdakwa dinyatakan bersalah ataukah dibebaskan. Oleh karena itu, hakim harus
cermat menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian.
Qur’an dan al -Sunnah telah menetapkan hukuman (hadd) tertentu untuk
kesalahan-kesalahan tertentu. Kesalahan-kesalahan itu merupakan dosa besar yang
mengharuskan adanya hukuman bagi pelaku kesalahan itu. Hal tersebut dimaksudkan
untuk memelihara jiwa, mempertahankan kehormatan, dan menjamin kemaslahatan umat.
Dalam pembuktian tidaklah
mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak (Absolut) semua
pengetahuan kita hanya sifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman,
penglihatan,dan pemikiran yang tidak selalu pasti benar, jika diharuskan adanya
syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka tidak boleh sebagian besar
dari pelaku tindak pidana pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satu-satunya yang dapatdisyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu
kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan-perbuatan
yang dituduhkan, sedangkan ketidak-kesalahannya walaupun selalu ada
kemungkinannya merupakan suatu hal yang tidak diterima sama sekali.
1.
Pengertian Pembuktian
Dalam Islam pemberian
perlindungan diberikan kepada kedua orang yang berpekara seperti halnya dalam hal pembuktian. Secara etimologi pembuktian
berasal dari kata ”bukti” artinya suatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata ”bukti” jika mendapatawalan ”pe ”dan akhiran ”an” maka mengandung arti
proses, perbuatan, atau cara membuktikan. Sedangkan dalam arti terminologi ”pembuktian ” berarti usaha menunjukan benar
atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadialan.
Menurut Sobhi Mahmasomi
membuktikan suatu perkara adalah mengajukan alasan, dan memberikan dalil sampai
kepada batas yang meyakinkan apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atas
dasar penelitian dan dalil itu. R. Subekti dalam hukum pembuktian, mendefinisikan
pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil atau
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
R.Supomo,mendefinisikan pembuktian dibagi dalam 2 arti yaitu: pembuktian dalam arti luas yaitu; membenarkan hubungan hukum.
Sedangkan pembuktian dalam arti sempit yaitu: pembuktian yang hanya diperlukan
manakala apa yang dikemukakan penggugat dibantah oleh tergugat. Secara sederhana
pembuktian dapat didefinisikan sebagai tindakan memberikan kepastian kepada hakim
tentang adannya peristiwa.
2.
Tujuan Pembuktian
Tujuan pembuktian adalah
untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau faktayang diajukan itu
benar-benar terjadi sehingga mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil,
tujuan pembuktian diatas yaitu; memperoleh suatua kejelasan dan kepastian suatu peristiwa.
3.
Beban Pembuktian
Beban untuk membuktikan kebeneran dakwaan atau gugatan dalam hukum
acara Islam, diletakkan diatas pundak pendakwa atau penguggat, diantara kaidah
kulli(umum), bukti itu adalah untuk menetapkan sesuatu yang berlawanan dengan
lahir,sedangkan sumpah diaukan untuk mempertahankan hukum asal (kenyataan). Rasulullah
SAW menjelaskan masalah pembebanan pembuktian yang populer dalam perspektif hukum
Islam adalah:
”Pembuktian
dibebankan pada penggugat dan sumpah kepada tergugat”
Pembuktian dibebankan pada
penguggat (affirmanti incoumbil probato), bahwa mendapatkan hukum yang sesuai
petitum gugatannya, seorang penguggat harus mengemukakan bukti-bukti yang membenarkan dalil-dalil
gugatannya.
4.
Macam-macam Alat Bukti
1)
SAKSI
Kesaksian dalam Islam dikenal dengan istilah Asy-syahadah menurut
bahasa memilikiarti sebagai berikut;
a)
Pernyataan atau pemberian yang pasti
b)
Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan
penyaksian langsung;
c)
Mengetahui sesuatu secara pasti,mengalami, dan melihatnya
Menurut syara’ kesaksian adalah
pemberitahuan yang pasti yaitu; ucapan yang keluar dan diperolehdari
pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung.
Syarat-syarat kesaksian
Kesakaksian dapat diterima sebagai alat bukti apabila memenuhisyarat sebagai
berikut;
a)
Kesaksian dilakukan didalam sidang pengadilan, jika dilakukan diluar
sidang pengadilan, meski itu dihadapan hakim ,tidak dianggap sebagai
kesakasian.
b)
Kesaksian diucapkan dengan lafad kesaksian, seperti saya bersaksi.
c)
Jumlah dan syarat orang yang menjadi saksi sesuai dengan syarat
dan ketentuan syari’at.
Saksi merupakan alat bukti untuk jarimah qodzaf, syarat-syarat
saksi dalam jarimah inisama dengan jarimah zina, yaitu:
- Baligh
- Dapat
dipercaya
- Adil
- Dan
tidak ada penghalang menjadi saksi
Adapun jumlah atau banyaknya saksi jarimah qodzaf ini sekurang-kurangnya
adalah 4orang saksi. Sebagaimana dalam surat an-Nur ayat 13 yang artinya : “mengapah mereka (yang menuduhitu) tidak mendatangkan empat orang
saksi atas berita boong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan
saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta”.
Atas dasar inilah jumhur fuqoha berpendapat bahwa apabila saksi
dalam jarimah zinakurang dari 4 orang maka mereka dikenai hukuman had sebagai
penuduh, walaupun menurut sebagian yang lain mereka tidak dikenai hadd, selama
mereka betul-betul bertindak sebagai seorang saksi.
Oleh sebab itu, saksi untuk
tuduhan zina sungguh sangat berat, sehingga peristiwa perajaman bagi orang yang
berzina dengan empat orang saksi zaman Nabi saw sampai hari ini belum pernah
terjadi, yang terjadi adalah pengakuan dari pelaku sendiri, seperti kasus Maizd
dan wanita Ghamdiyah.
1)
PENGAKUAN
Pengakuan adalah mengabarkan suatu hak pada orang lain, Menurut
Salam Madzkur pengakuan adalah adanya hak orang lain atas diri pengaku itu, baik
pemberitahuan itu dengan sesuatu katakata maupun dengan apa-apa yang disamakan
hukumnya dengan kata-kata walupun pengakuan itu untuk yang akan datang. Macam-macam
pengakuan. Pengakuan ditinjau dari segi pelaksanaanya dibagi menjadi tiga;
Ø Ikrar dengan kata-kata;
Pengakuan yang diucapkan dimuka sidang dapat dijadikan alat bukti dan dijadikan
hujjah bagi orang yang berikrar Dan jika diucapkan diluar sidang maka tidak dapat
dijadikan alat bukti;
Ø Ikrar dengan syarat;
Apabila seseoang tidak dapat bicara(bisu) maka ikrar baginya dapat dilakuakn dengan isyarat, dengan ketentuan isyarat tersebut dapat dipahami oleh umum;
Ø Ikrar dengan tulisan ;
Ikrar dengan tulisan, semula tidak dibenarkan dengan alasan dan mungkin dapat
dihapus atau ditambah. Akan tetapi, mengingat saat ini telah terdapat berbagai
cara untuk membedakan antara tulisan asli dan palsu.
2)
INDIKASI
Tanda-tanda yang mengarah pada hasil dari perzinaan seperti, hamilnya
seorang wanita yang tidak bersuami atau wanita tersebut bersuami namun telah
terpisah sekian lama yang memungkinkannya tidak hamil karena suaminya.
Walaupun kehamilan itu sendiri tidak serta merta dapat dijadikan
bukti terjadinya perzinaan. Hal ini karena ada kemungkinan kemungkinan lainnya, diperkosa misalnya atau wanita yang mempunyai suami, walau telah cukup lama berpisah,
bisa saja kehamilannya dari suaminya tadi.
Oleh karena itu, hukuman zina itu dapat dilaksanakan, apabila semua
bukti yang diajukanmengarah kepada perbuatan tersebut, tanpa sedikitpun ada keraguan.
Pelaksanaan hukuman itu sendiri dilaksanakan dengan disaksikan khalayak ramai
walaupun tidak disepakati berapa jumlahnya sebagai tindakan pencegahan (ar-ra’du wal zahru) bagi orang lain agar tidak mengikuti perbuatan yang
sama di kemudian hari, seperti dijelaskan Al-qur’an Surat An-Nur Ayat 2: Artinya
: perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
1)
SUMPAH
Sumpah menurut bahasa hukum Islam disebut al yamin atau al hiff tetapi
kata al yamin lebih umum dipakai. Sebenarnya lafadz al yamin bermakna tangan kanan, soalnya orangArab apabila bersumpah
dengan mengangkat tangan kanannya. Sumpah menurut Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, SH ialah suatu pernyataan yang khidmat diberikan atau diucapkan
pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat mahakuasa Tuhan
dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar
akan dihukum oleh Nya.
Sumpah ini memiliki bentuk tersendiri, seperti sumpah Li’an (dalam perkara zina) dan sumpah Qasamah (di
lapangan pidana), bagaimanapun juga, selain dari sumpah Li’an dan sumpah pemutus, alat
bukti sumpah tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, hakim tidak bisa memutuskan hanya
semata-mata berdasarkan kepada sumpah tanpa disertai oleh alat bukti lainnya.
Sumpah hanyalah merupakan salah satu alat bukti dapat diandalkan untuk pengambilan
putusan terakhir.
Menurut Imam Syafi’i jarimah qodzaf dapat dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi
dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang yang
menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan bersumpah, maka jarimah
qodzaf bisa dibuktikan dengan keengganan untuk bersumpah tersebut. Demikian
pula sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh
(korban) bahwa penuduh benar melakukan penuduhan. Apabila orang yang dituduh
enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan dibebaskan dari hukuman hadd qodzaf.
Alat bukti sumpah ini juga diatur dalam HIR Pasal 135-158, 177)
R.Bg. pasal 182, 185,314 dan BW pasal 1929-1945 (Jur,
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Sinar
Grafika 2008) hal…119). Sumpah sebagai alat bukti berbeda dengan sumpah yangdiucapkan
saksi sebelum memberikan keterangan didepan sidang pengadilan dalam hal
ini didepan majelis hakim, sumpah saksi adalah menyatakan benar apa yang
diketahui, didengar, dilihat sesuai dengan apa yang diterangkannya, itu
bukanlah sebagai alat bukti tetapi kesaksiannya itulah menjadi bukti, sedangkan
sumpah sebagai alat bukti yaitu isinya tentang kebenaran apa yang dilakukan
pihak yang bersumpah itu. Sumpah memiliki daya kekuatan pembuktian sempurna
(volleding), mengikat (bidden) dan menentukan (beslissen), oleh karena itu
benar atau bohong pihak yang bersumpah tidak boleh hakim menilai sebagai sumpah
palsu kecuali dapat dibuktikan berdasarkan adanya putusan pidana, Sumpah
sebagai alat bukti dalam acara perdata merupakan ikrar yang diucapkan pihak yang
bersumpah dan ikrar sumpah diucapkan secara lisan dihadapan hakim dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan, untuk itu sumpah sebagai alat bukti tidak sah
jika dilakukan dalam bentuk tertulis, artinya harus diangkat oleh salah satu
pihak dimuka hakim, adapun syarat formal alat bukti sumpah secara umum harus
memenuhi syarat :
a)
Berupa keterangan yang diikrarkan dalam bentuk lisan.
b)
Ikrar sumpah diucapkan didepan hakim dalam proses pemeriksaan
perkara padasidang perkara.
c)
Tidak ada bukti lain yang dapat diajukan para pihak, sehingga
pembuktian sudah berada dalam keadaan jalan buntu.
Agar sumpah menjadi sah (valid) , bila ia bersumpah atas nama
Allah, salah satu dari nama-nama Allah atau salah satu dari sifat-sifat Allah.
Seperti ucapan, Wallahi, warohmani,wa rabbil 'alamin, dll. Tidak sah
bila menggunakan nama selain Allah. Jadi, sumpah yangdilakukan Komjen Susno
Duaji yang memakai lafadz Lillahi ta'ala(kalo ga
salah lillahi ta'alloh ) adalah tidak sah menurut hukum Islam. Karena
lafadz tersebut menunjukkan keihlasan, bukan sumpah.
Oleh karena itu, pengadilan hendaknya menyikapi dengan serius para
saksi, tersangka,atau orang yang dituduh yang telah mengucapkan sumpah. Karena
tujuan dari sumpah adalahingin membuktikan kebenaran diri dan yang harus
membuktikan kebenaran tersebut adalah pengadilan.
Menurut Sobhi Mahmasomi membuktikan suatu perkara
adalah mengajukan alasan, danmemberikan dalil sampai kepada batas yang
menyakinkan apa yang menjadi ketetapan ataukeputusan atas dasar penelitian dan
dalil itu. R.Subekti dalam hukum pembuktian,mendefinisikan pembuktian adalah
menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil ataudalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan.
R. Supomo mendefinisikan pembuktian dibagi dalam
2 arti yaitu: pembuktian dalam arti luas yaitu; membenarkan hubungan hukum.
Sedangkan pembuktian dalam arti sempit yaitu; pembuktian yang hanya diperlukan manakala
apa yang dikemukakan penggugat dibantah oleh tergugat. Secara sederhana
pembuktian dapat didefinisikan sebagai tindakan memberikan kepastian
kepada hakim tentang adannya peristiwa.
Dalam hal ini alat bukti ialah: saksi, pengakuan,
indikasi dan sumpah.dengan begitu akanmudah dalam menjatuhkan hukuman
Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin bahwa
menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa sesuatu tindak pidana
benar-benar telah terjadi dapat terjadi dan terdakwa dalam hal tersebut
bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna,yaitu bukti yang sah dan
menyakinkan. Mengenai alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam pasal
184 KUHAP.
Masyarakat Indonesia
sebagai abdi hukum, perlu diberikan pemahaman secara universal tentang perkara
pidana khususnya hukum acara pidana yang berkenaan dengan kebutuhan masyarakat
pada umumnya demi tercapainya kepastian hukum dalam masyarakat. Namun tidak sedikit
mengenai perilaku hakim dalam memutus perkara pidana tidak berdasarkan pada
kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan, tetapi atas dasar kepentingan
pribadi atau golongan. Fenomena ini pula menurut pengamatan penulis juga masih
sering terjadi dalam lingkup Pengadilan Negeri Medan, oleh karena itu penulis tertarik untuk
mengangkat judul “ Analisis Peranan Keyakinan
Hakim dalam Menilai Alat bukti pada Perkara Pidana “ ( Tinjauan terhadap
Hukum Pidana Islam ).
Untuk
lebih memudahkan pencapaian tujuan penulisan, penulis akan membatasi pokok
pembahasan, sehubungan dengan hal tersebut maka yang akan menjadi objek
pembahasan lebih lanjut, sebagai berikut :
Bagaimana
keyakinan hakim dalam menilai alat bukti pada
perkara pidana perbandingannya menurut hukum pidana Islam ?
Faktor-faktor apakah
yang menghambat keyakinan hakim terhadap pembuktian dalam perkara pidana dan
perbandingannya menurut hukum pidana Islam ?
Adapun
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian, adalah sebagai berikut:
a.
Untuk
mengatahui peranan keyakinan hakim dalam menilai alat bukti pada perkara pidana dan perbandingannya
menurut hukum pidana Islam.
b.
Untuk
mengetahui faktor-faktor yang menghambat keyakinan hakim terhadap pembuktian
dalam perkara pidana dan
perbandingannya menurut hukum pidana Islam.
Sedangkan
kegunaan dari pada penelitian ini, adalah sebagai berikut:
a.
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan input dan sumbangan pemikiran bagi
para pencari keadilan, khususnya bagi praktisi hukum maupun masyarakat pada
umumnya. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan referensi untuk menambah khasanah kepustakaan dan
juga dapat menjadi masukan yang berguna untuk perkembagan ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang Hukum Acara Pidana.
MOHON SUMBANGKAN PEMIKIRAN !
PUSTAKA
Hakim
Rahmat, Hukum Pidana Islam(fiqh Jinayah), Bandung, Pustaka Setia, 2000
Audah,
Abdul Qodir, At- Tasyri’ al -Jinaiy
al-Islam, Beirut, Muasash
Ar-Risalah, tt. Sabiq,Sayyid, Fiqh Sunnah, Juz II, Beirut, cet II, 1980
Andi
Hamzah, 1985. Pengantar Hukum Acara pidana Indonesia. Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Alber
Hasibuan, 1985, 2 Guru Besar Berbicara Tentang Hukum, Alumini Bandung
Anwar,
Moch.H.A.K, 1986, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I,
Alumni Bandung
Bambang
Sutiyoso, 2005, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.
Uli Press. Yogyakarta.
Bambang
Waluyo, 1996. Sistem
Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.
Bawengan,
G.W., 1988, Penyidikan Perkara Pidana Dan Teknik Interogasi, Pradnya
Paramita, Jakarta.
Bemmellen,
Hukum Acara Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 1985.
BPHN,
1986, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bina Cipta Bandung
Hamid,
A.T., 1982, Praktek Peradilan Perkara Pidana, Al-Ikhsan, Bandung.
Hamzah,
Andi, 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia
………………,
1986. Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesi
Imran,
1989, Kebebasan Hakim Dalam Menilai Alat Bukti Dalam Memutus Perkara Pidana.
Sinar Grafika, Jakarta.
Kusnardi
dan Bintang Saragih, 1978, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD
1945, Gramedia Jakarta
Lamintang
P. A. F. dan Jisman Samosir, 1985, Hukum Pidana Indonesia, sinar Baru
Cet. II
................................ KUHAP dan Pembahasan Secara Yuridis
Menurut Yurisprudensi dan Ilmu pengetahuan Hukum Pidana, Sinar
Baru, Bandung, 1984.
Lilik
Mulyadi, Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, 2002.
Martiman
Prodjohamidjojo, 1983, Sistem Pembuktian Dan Lat-Alat Bukti, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Moelyanto, 1985. Azas-azas Hukum Pidana,
Bina Aksara Cet. III Babdung
Nurul Afiah, Rna, 1989. Barang Bukti
Dalam Pross Pidana, Jakarta, Sinar Grafika.
Prasetyo. J.T., 1987, Kamus Hukum. Aksara
Baru, Jakarta.
Poerwadarminta, WJS, 1976. Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka
Romli Atmasasmita, 1982, Hukum Acara Pidana, Bina
Cipta, Jakarta
