Partai Baru Gaya Lama Oleh Al Bara
Partai Baru Gaya Lama
Oleh: Al Bara
Penulis Dosen Bisnis Manajemen Syariah
& Perbankan Syariah FAI UMSU
Pengusungan bakal calon presiden dan wakil presiden
oleh partai politik dalam pilpres (pemilihan presiden) 2019, menghasilkan 2
(dua) pasangan yang akan bertarung pada pesta demokrasi atau politik yaitu Joko
Widodo berpasangan dengan Ma’aruf Amin dan Prabowo Subianto berpasangan dengan
Sandiaga Salahuddin Uno. KPU Pusat (Komisi Pemilihan Umum) akan menyiapkan
mimbar untuk kedua pasangan dalam menyampaikan visi misi capres dan cawapres
dalam 5(lima) tahun kedepan.
Dalam pesta demokrasi tahun
2019 ini, ada 16 (enam belas) partai nasional dan 4 (empat) partai lokal yang
akan merebut suara rakyat sebanyak-banyaknya. Untuk partai nasional yang akan
berkompetisi, ada beberapa partai baru yang mengambil bagian dalam pesta
demokrasi ini yaitu Partai Garuda, Partai Berkarya, Partai Serikat Indonesia
dan Partai Persatuan Indonesia. Partai-partai baru tersebut akan merebut suara
rakyat yang sudah memilih partai yang ikut berkompetisi pada tahun 2014 yang
lalu serta suara rakyat yang sebelumnya tidak memilih (golongan putih atau
golput).
Mengenai suara rakyat
adalah peserta pemilu yaitu dalam undang-undang no. 23 tahun 2003 Pasal 7 tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yaitu, warga negara Republik Indonesia yang
pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Dan selanjutnya undang-undang no. 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 19 ayat (1)
disebutkan, warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak
memilih.
Belajar dari
partai yang berpengalaman mengikuti dalam kontestasi perpolitikan orde baru di
Indonesia seperti partai Golkar, partai Persatuan dan Pembangunan atau PPP dan
partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (wajah baru) bahwa partai-partai tersebut
telah melakukan berbagai edukasi perpolitikan di Indonesia. Mereka melahirkan
banyak tokoh-tokoh nasional yang ikut berperan membangun Indonesia. Pasca
runtuhnya pemerintahan orde baru, partai tersebut mentransformasi simbol partai
dan yang sangat mencolok adalah PPP yang sebelumnya berlambang bintang menjadi
Ka’bah.
Lengsernya
presiden Suharto tahun 1998, maka sistem perpolitikan berhaluan pada reformasi.
Reformasi hadir, untuk menunjukkan bahwa rakyat tidak suka dengan sistem yang
dianggap diktaror yang dipimpin selama 32 (tiga puluh dua) tahun yang dikenal
dengan kejahatan politik, siapa yang melawan maka dihantui dengan penculikan
bahkan masuk di jeruji besi. Tokoh utama reformasi adalah Amien Rais, ada juga yang menyebutkan BJ. Habibi,
Megawati, Sri Sultan Hamengkubuwono, Abdurahman Wahid, dan lainnya.
Tidak henti sampai
disitu, tokoh era reformasi tersebut ikut dalam kontestasi pilpres tahun 1999.
Dan pada pemilu tersebut, presiden Republik Indonesia diamanahkan kepada
Abdurahman Wahid atau dikenal dengan Gusdur beserta wakilnya Megawati Sukarno
Putri pada pertemuan MPR/DPR RI hasil pemilu 1999. Namun sayang, pasca
reformasi dan sampai saat ini, ketokohan mereka banyak melahirkan legeslator
korupsi. Para koruptor memanfaatkan ketokohan para reformator untuk mendapatkan
suara rakyat bahkan uang rakyat dengan cara yang haram.
KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) bentukan pada masa presiden Megawati, mengungkap ribuan
kasus korupsi yang kebanyakan mereka adalah wakil rakyat dan wakil pemimpin
daerah propinsi, kabupaten/kota. Mereka tidak malu tampil dilayar kaca
(televisi) tanpa rasa bersalah. Partai agama tidak ada bedanya dengan partai
nasionalis, hanya simbol yang berbeda dengan harapan mendapat suara dari
populasi agama terbesar di negeri ini.
Menurut data KPK, semua
partai (tanpa kecuali) telah melakukan tindakan korupsi secara pribadi bahkan
massal (neo-kapitalisme, menguntungkan pribadi dan golongan). Bagi mereka, uang
rakyat diibaratkan seperti kue bolu yang dibagi-bagi, padahal uang yang mereka
anggarkan dalam perencanaan pembangunan sejatinya melayani kesejahteraan
rakyat. Disaat rakyat membutuhkan pelayanan publik seperti kesehatan,
pendidikan, dan aksi sosial maka mereka (koruptor) berbondong-bondong mencari
celah untuk mendapatkan persenan. Logis, hampir semua sarana dan prasarana
pelayanan publik mengalami penyusutan kualitas yang super cepat.
Bangunan rumah sakit
dari anggaran pemerintah pusat dan daerah (APBN dan APBD) minim kualitas,
apalagi hampir semua masyarakat Indonesia mengeluh infrastruktur jalan yang
tidak baik, mudah rusak (berlubang), tidak berstandar baik, bahkan menjadi
ancaman keselamatan bagi pengguna jalan. Rakyat hanya melihat pembangunan kasat
mata namun bernilai kerusakan bangsa.
Bagaimana partai-partai
baru yang ikut serta dalam pemilu 2019 ini? Partai-partai baru tersebut
mempunyai calon-calon legeslatif untuk bersiap diri menjadi wakil rakyat..
Kehadiran partai tersebut tidak memberikan kesan bahwa meraka akan memberikan
perubahan untuk bangsa yang lebih baik apalagi mereka hadir bersama-sama dengan
visi dan misi yang hampir mirip dengan tujuan yang sama yaitu perubahan untuk
Indonesia yang lebih baik lagi. Yel-yel atau moto tersebut tidak ada bedanya
dengan partai baru pada masa orde baru dan pasca reformasi.
Kelemahan
anggota legeslatif terpilih ialah tergiur dengan uang rakyat disaat mereka
menganggarkan proyek-proyek pembangunan nasional. Uang miliran dan triliunan
rupiah menghantui pikiran dan niat mereka tidak menjadikan mereka harus lari
dari korupsi malah sebaliknya mereka ingin mengambilnya (persenan). Sebagai
bukti, anggota DPRD Sumut dan DPRD kota Malang secara bersama-sama melakukan
aksi korupsi.
Budaya ataukah hobi bahwa korupsi merupakan
ancaman pembangunan nasional, maka hukum pun harus berdiri tegak untuk
menghadapi predator korupsi tersebut. Tahanan di lembaga pemasyarakatan tidak
meminimalisir angka korupsi di Indonesia maka hukuman berat harus menjadi
solusi untuk mengatasinya walaupun disaat hukuman mati menjadi solusinya.
Hukuman mati
juga pernah diungkapkan Mahfud MD dan Artidjo Alkostar bahwa hukuman tersebut
pantas diberikan kepada koruptor. Walaupun sudah diatur dalam Pasal 2 Ayat (2)
UU Tipikor, namun sangat disayangkan dengan adanya syarat penjatuhannya yaitu
disaat negara dalam kondisi bahaya, bencana nasional, krisis ekonomi dan moneter,
atau jika korupsi dilakukan berulang. Apakah harus negara ini hancur terlebih
dahulu, bencana besar untuk menghadapi koruptor. Apa tidak menjadi pembelajaran
dengan bencana Lombok sudah memporandakan ekonomi regional, apa harus Tsunami
massal di semua propinsi baru hukuman mati diterapkan?.
Tentunya
permasalahan korupsi tidak bisa dibiarkan begitu saja dengan hukuman penjara
dengan melambaikan tangan di kantor KPK. Adanya temuan KPK atas bukti bahwa sel
tahanan para koruptor berfasilitas hotel berbintang di lapas Sukamiskin
menambah psikologi bahwa korupsi menjadikan penggunanya hidup nyaman. Walaupun
partai baru, bukan berarti calon legeslatif mereka akan terhindar dari bencana
korupsi ini.
Mereka yang
diamanahkan oleh suara rakyat harus menjadi satu kesatuan yang utuh tentu niat
hati yang bersih dan tulus maka akan membiasakan mereka untuk menjadi
legislator yang amanah. Pembangunan program pemerintah dalam melayani
kesejahteraan rakyat harus diutamakan disaat mereka hadir sebagai wakil rakyat.
Semoga partai-partai peserta pemilu 2019 memberikan kesegaran bagi Indonesia untuk
menjadi negara yang mampu berdiri tegak dalam membangun bangsa dan negara.
Amiin.

