HAZIRIN DALAM PEMIKIRAN POLITIK HUKUM ISLAM
PENDAHULUAN
Problematika kehidupan yang dihadapi
umat islam di Indonesia adalah bagaimana membentuk satu pemikiran hukum islam
yang sesuai dengan tradisi (adat) yang ada diwilayah ini. Pandangan seperti ini
merupakan proses awal dari keseluruhan cita-cita untuk menjadikan hukum Islam
sebagai bagian integral dari sistem hukum Nasional. Kenyataan bahwa selama ini
umatIslam hanya mengikuti jalur pemikiran fiqh madzhab Syafi’i ternyata
memberikan pengaruh terhadap karakter pembaharuan dan nasib pemikiran hukum
Islam di indonesia.
Sejenak kita membandingkan ke
negara-negara lain yang tidak pernah dijajah oleh Belanda, Indonesia termasuk
negara yang kurang beruntung. Hal ini dapat dimengerti dengan tidak adanya
perhatian pemerintah koloni secara cukup proporsional dalam proses pembenahan
dan pengembangan hukum Islam, terutama dalam kontek legislasi hukum Islam yang
dicitakan dapat diipakai sebagai acuan perundang-undangan di lingkungan
Peradilan Agama. Oleh karena itu, wajar kiranya jika hingga 1960-an,
kitab-kitab hukum fiqh yang dibuat oleh para mujtahid pada abad pertengahan,
masih menjadi acuan utama dalam proses pengambilan keputusan di lingkungan
Peradilan Agama.
Fenomena ini sangat memperhatinkan
sebab kerakter pemikiran dalam kitab fiqh klasik itu secara umum sudah tidak
mampu lagi memenuhi kebutuhan umat Islam di Indonesia. Pergumulan para mujtahid
dengan konteks sosial politik Timur Tengah, sangat mempengaruhi hasil Ijtihad
yang mereka lakukan sehingga tidak cocok kalau dipaksa untuk dilaksanakan di
Indonesia. Dengan demikian, permasalahan-permasalahan fiqh, terutama dalam
bidang rnu’amalah, membutuhkan rumusan baru agar lebih relevan dengan
situasi dan kondisi serta adat dan budaya Indonesia. Setiing sejarah sosial
pemikiran hukum Islam di ataslah yang telah mendorong Hazairin, untuk membentuk
Fiqh Madzhab Nasional Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Hazairin tentang Fiqh Islam
Pola sejarah sosial pemikiran hukum
Islam di atas telah mendorong Hazairin,[1]
untuk membentuk Fiqh Madzhab Nasional Indonesia. Dalam konteks pembicaraan
bahwa permasalhan yang dihadapi umat Islam Indonesia adalah masalh hukum, dan
bahwa karakteristik hukum Islam berbeda dengan unsur keimanan dan keislaman
lainnya, maka menurut Hazairin, eksistensi hukum Islam dikatakan sedang
mencari–cari tempat didalam masyarakat.
Dari sini ide Fiqh Madzhab Nasional Indonesia menuai signifikansinya.
dalam amatan Hazairin, bentangan perjalanan sejarah hukum Islam yang mewartakan
bahwa pintu Ijtihad senantiasa terbuka bagi para mujtahid, cukup bisa dijadikan
alasan dan pertimbangan akan perlunya memikirkan konstruk madzhab baru yang
lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia. Menurutnya, madzhab hukum Syafi’i
harus dikembangkan sehingga mampu menjadikan penghubung bagi resolusi
problem-problem spesifik masyarakat Indonesia.
Berbeda dengan pandangan Hasbi ash
–Shiddieqy yang menginginkan membentuk Fiqh Indonesia dengan cara menggunakan
semua madzhab hukum yang telah ada sebagai bahan dasar dan sumber materi utamanya,
Hazairin justru menginginkan pembentukan Fiqh madzhab nasionalnya ini dengan
titik berangkat hanya dari pengembangan Fiqh madzhab Syafi’i.[2]
Pandangan Hazairin ini lebih didasarkan pada kenyataan bahwa madzhab Syafi’i
telah sekian lama dianut oleh masyarakat Indonesia, sehingga kerakternya bisa
dikatakan paralel dengan nilai-nilai adat Indonesia. Bagi Hazairin, eksistensi
hukum adat tidak bisa dikesampingkan begitu saja didalam proses pembuatan hukum
Islam di Indonesia.
Penilaian yang kurang tepat terhadap
hukum adat, terutama ketika ia dianggap sebagai faktor yang menghalangi
pengembangan hukum Isalm, dan begitu juga sebaiknya, tidak bisa lepas dari
kondisi politik kolonial masa lalu, terutama sejak munculnya teori receptie.
Menurut Hazairin, umat Islam tidak perlu lagi terjebak dalam kontroversi
tentang status hukum Islam hanya karena adanya propaganda dari teori itu. Dia
menyarankan agar umat Islam memakai hukum Islam sebagai hukum yang ditaati guna menata kehidupan
sehari-hari. Selanjutnya, peradilan Islam dimungkinkan untuk berdiri dan
integral dengan peradilan negara, yang dalam hal ini berada dibawah pengawasan
Mahkamah Agung.
Menurut Hazairin, dengan merujuk
pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945, maka sebenarnya tidak perlu lagi terjadi
pertentangan antara sistem hukum adat, hukum positif, dan hukum agama. Begitu
juga tidak boleh lagi ada satu ketentuan dan hukum baru yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan juga hukum agama yang lain, dan begitu
pula sebaliknya. Negara wajib mengayomi setiap orang untuk bisa menjalankan
ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Selain itu, negara juga wajib mengatur
dan mengontrol sistem hukum islam, terutama aspek mu’amalahnya, yang memang
membutuhkan bantuan negara dalam implementasinya.[3]
Dengan meihat paparan diatas, ide
Hazairin tentang Fiqh Madzhab Nasional Indonesia boleh dikatakan merupakan
prolifelari(pengembangan) dari gagasan Fiqh Madzhab Indonesia yang digagas oleh
Hasbi ash-Shiddieqy. Titik temu pandangan keduanya terletak pada entri bahwa
hukum adat masyarakat Islam Indonesia harus digunakan sebagai bahan
pertimbangan utama dalam proses pembentukan hukumIslam di Indonesia. Dalam hal
ini, Hazairin berusaha melempangkan pemikiran Hasbi yang sebelumnya kurang
diperhatikan (unresponsive), yaitu upaya mempersatu padukan nilai-nilai yang
berasal dari adat maupun hukum Islam ke dalam satu entitas hukum. Dengan upaya
penyelarasan ini, setidaknya akan menghasilkan satu hasil ijtihad baru yang
lebih mendekatkan hukum Islam kepada masyarakat muslim Indonesia, sehingga
penyimpangan seperti yang ditempuh oleh beberapa negara Islam (dalam upaya
mereformasi undang-undang hukum keluarga), tidak perlu dilakukan.
Kesejajaran pemikiran Hazairin
dengan pemikiran Hasbi ash-Shiddieqy juga dapat dilihat pada perubahan nama
dari tema pemikiran yang ia usulkan. Pada buku yang berjudul Hukum : Kekeluargaan
Nasional. Hazairin melakukan perubahan dari istilah “ Madzhab Nasional”
ke “Madzhab Indonesia”, suatu konsep yang jelas mengantisipasi ide Fiqh
Indonesia sebagaimana yang pernah ditawarkan oleh Hasbi ash-Shiddieqy.[4]
Dalm amatan Hazairin, Fiqh
ahl-as-sunnah terbentuk dalam masyarakat Arab yang bersendikan sistem
kekeluargaan patrilineal, dalam suatu masa sejarah, ketika ilmu pengetahuan
tentang bentuk-bentuk kemasyarakatan belum berkembang. Hal ini menyebabkan para
mujtahid berpandangan sempit, karena belum adanya perbandingan-perbandingan
mengenai berbagai hal terkait masalah hukum, terutama dalam maslah kewarisan.
Oleh karena itu, sangat wajar apabila dalam pengimplementasiannya terjadi
konflik antara sistem kewarisan yang dihasilkan ahl as-sunnah dengan sistem
kewarisan adat dalam berbagai lingkungan masyarakat Indonesia.
Dengan cara pandang seperti itu,
Hazairin kemudian mencoba untuk mencari kebenaran hakiki yang mungkin paling dekat
dengan keinginan al-Qur’an dari ayat-ayat kewarisan, berdasarkan keyakinan
bahwa Tuhan tentu hanya menginginkan adanyia satu kebenaran saja terhadap
setiap kemauan-Nya. Suatu kebenaran yang tidak akan diperselisihkan lagi
tingkat akurasinya, karena sudah final. Usaha ini dimulai dengan menghimpun
semua ayat dan Hadis yang berhubungan dengan kewarisan, lalu menafsirkannya
sebagi satu kesatuan yang saling menerangkan. Usaha ini didukung sepenuhnya
oleh hasil temuan ilmu antropologi sebagai kerangka acu untuk membantu
menjelaskan pengertian dan konsep-konsepnya.
Dalam hal ini, Hazairin mengusulkan
perlunya memanfaatkan hasil-hasil keilmuan kotemporer (khususnya antropologi)
dalam menetapkan hukum-hukum fiqh (kewarisan). Hal ini diimaksudkan untuk
menciptakan sistem hukum yang lebih padu dan menyeluruh. Dalam pandangannya,
kelahiran dan perkembangan ilmu antropologi telah membuka peluang bagi setiap
orang untuk melihat ayat-ayat kewarisan dalam kerangka yang lebih luas, yaitu
sistem kekeluargaan dalam berbagai masyarakat dunia. Al-Qur’an yang bersifat
Universal, harusnya tidak dipahami dan diacu sebagai kaidah mati, dalam arti
semua ketentuan hukum dalam al-Qur’an harus diterapkan kehidupan praksis dengan
tanpa melihat kondisi dan situasi masyarakat sekitar, dengan konsekuensi
melakukan tambal sulam terhadap hal-hal yang dirasa bertentangan. Kondisi seperti ini semakin
parah dengan adanya pihak yang coba memahami ayat-ayat (kewarisan), hanya dalam
kerangka adat masyarakat Arab masa nabi, sehingga membawa implikasi pada
terjadinya benturan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya yang
memiliki sistem dan bentuk kekeluargaan yang beda.
Penggunaan ilmu kotemporer
(antropologi) sebagai kerangka acu tambahan dalam pola kerja pemikiran hukum
Islam Hazairin ternyata telah membuat posisi ushul fiqh menjadi terpinggirkan.
Pendekatan yang tak lazim ini menjadi problem tersendiri dan bisa dikatakan
sebagai faktor penyebab mengapa pemikiran Hazairin ini kurang mendapat respon
positif dan proporsional dari masyarakat luas.[5]
Hazairin sendiri memahami dan
mengakui keberadaan fiqh dan juga ushul fiqh sebagai produk dan metode
pemikiran hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia
dengan sesama manusia, manusia dengan mahluk hidup selainnya, dan antara
manusia dengan segala macam benda. Sebagai hasil pemikiran fiqh bisa melahirkan
norma (hukum). Sedangkan ushul fiqh sebagai pokok dari fiqh adalah spare part
yang mampu mengerakkan pemikiran Ijtihad dengan landasan al-Qur’an, sunnah,
ijma’, dan qisas.[6]
Dimensi pemikiran hukum yang selama ini tertuang dalam kitab fiqh,dengan
demikian,senantiasa akan menerima perubahan-perubahan dari segi materi maupun
metode pengembangannya.
Usaha untuk merekonstruksi format
fiqh baru, menurut pandangan Hazairin, dapat dimulai dengan tafsir otentik atas
al-Qur’an. Dalam analisis dan hasil temuan dari studi tentang pemikiran waris
Hazairin yang dilakukan oleh Al-Yasa Abu Bakar, dapat ditarik kesimpulan bahwa
karakter sumber-sumber hukum Islam, yakni sunnah, ijma, dan qiyas memungkinkan
untuk digugat hasil ketetapan ijtihadnya.
Hazairin mencoba menawarkan pola
penafsiran baru atas al-Qur’an yaitu menginkorporasikan keilmuan modern, dalam
hal ini antropologi, ke dalam proses penafsiran, serta memberikan prasangka
sebelum memulai pekerjaannya. Pola penafsiran
baru ini tentu mempunyai konsekuensi berkembang. Penalaran Hazairin ini
mengfokuskan adanya penyelarasan ayat-ayat al-qur’an (tentang waris)dengan
hadis nabi, dan pencarian arti kata kunci dalam al-qur’an dengan al-Qur’an
sendiri. Yang pertama didasarkan pada pemikiran dia sebelumnya, yang mengatakan
bahwa hadis akan bertolak apabila bertentanan dengan hasil penafsiran ayat
dengan ayat. Sedangkan yang kedua, dengan memakai kerangka diatas, dimaksudkan
untuk mencari perbandingan, sehingga dari sini dapat diambil kesimpulan yang
lebih tepat. Langkah yang terakhir ini
fdilakukan untuk menunjukkan arti penting aplikasi pendekatan antropologi, yang
diyakini akan memberikan pemahaman yang tepat dalam proses penafsiran. Dalam hal
ini, Hazairin tidak mengandalkan buku kamus, menghindari kajian semantik dan
studi derivasi kata Arab, bahkan dia banyak mengkritikulama sunni karena sangat
terpengaruh dengan tradisi arab, bahkan dia banyak mengkritik ulama Sunni
karena sangat terpengaruh tradisi arab dalam memahami teks. Dalam
amanatnya, beberapa istilah di dalam
Al-Qur’an yang menurut sebagian ulama memiliki arti bias, ternyata mempunyai
arti kusus menurut Al-Qur’an sendiri.
Demikian gambaran umum dari meode
wacana Fiqh Nasional yang coba didemonstrasikan oleh Huzairin melalui
tulisan-tulian nya sejak tahun 1950-1958. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
Hazairin memakai metode induktif dan deduktif secara serentak didalam
menginterprestasikan teks Al-Qur’an dan Hadist. Dengan model seperti itu ia
memandang qiyas lebih sebagai kegiatan penalaran daripada sebagai dalil atau
sumber itu sendiri.
Potret yang ditawarkan Hazairin
adalah dalam medan hukum kewarisan. Menurutnya, konsep hukum kewarisan Islam
yang selama ini berjalan dengan menganut sistem patrilineal (menarik keturunan
hanya dari arah laki-laki saja). Itu sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya
Timur Tengah Arab yang juga demikian. Hukum kewarisan dalm al-Qur’an, bagi
Hazairin, esensinya menganut sistem biletral yakni menarik dari pihak ayah dan
ibu.
Pemikiran ini muncul setelah ia
melakukan penelitian atas ayat-ayat al-Qur’an tentang waris, dan melakukan
hipotesis (dugaan) bahwa bukan masyarakat yang berclan atau parilinial yang
dikehendaki dial-Qur’an, melainkan yang dikehendaki masyarakat bilateral.
Hipotesis ini didasarkan dan dilatarbelakangai oleh fenomena perkawinan sahabat
Alidan putra nabi, Fatimah az-Zahra, yang dibenarkan oleh al-Qur’an. Dalam
pandangan masyarakat ber-clan sebagaimana terjadi di Arab sebelum datangnya Islam, perkawinan
seperti ini disebut eksogami, jarang sekali
silakukan dianggap tabu, dan karena itu tidak dapat dibenarkan.
Pemikiran hukum kewarisan bilateral
yang ada dalam al-Qur’an ini telah memunculkan perspektif sekaligus pandangan
baru dalam rangkaian detail dan turunan angka pembagian harta warisan.
Implikasi lebih jauh yang ditimbulkan oleh gagasan Hazairin ini menjangkau
permasalahn-permasalahan :
a.
Istilah ashabah berasal dari adat
masyarakat Arab, dan karena itu tidak seharusnya dipertahankan.
b.
Kedudukan keturunan melalui anak
perempuan, dan seterusnya ke bawah, sama kuatnya dengan keturunan melalui anak
laki-laki, dan seterusnya kebawah.
c.
Memasukkan ahli waris karena
pergantian kedalam sistem kewarisan Islam, sengan menggunakan surat an-Nisa
ayat 33 sebagai landasannya.
d.
Memperkenalkan pengelompokan baru
untuk ahli waris, yaitu dzawi al-furudh, dzawi al-qarabah, dan mawali, sebagai
ganti dari dzawi al-furudh, ashabah dan dzawi al-arham.
e.
Kedalam pengertian kalalah (mati
punah) diikut sertakan orang yang hanya mati punah ke bawah (tidak meninggalkan
keturunan). Hal ini berbeda dengan fiqh Sunni, yang mengartikan kalaah sebagai
orang yang matit idak meninggalkan keturunan laki-laki dan ayah.
Pandangan-pandangan diatas
mengandaikan bahwa masing-masing cucu akan mengambil hak ayah dan ibunya yang
telah meninggal. Dalam kasus pertama harta warisan setelah dikeluarkan untuk
dzawi al-furudh,kemudian dibagi menjadi empat bagian : satu bagian untuk anak
perempuan, satu bagian untuk cucu laki-laki sebagai pengganti dari ibunya, dan
dua bagain untuk cucu perempuan sebagai pengganti dari ayahnya. Dalam kasus
kedua dengan proses yang sama, cucu melalui anak laki-laki memperoleh 2/3, cucu
melalui anak perempuan mendapat 1/5 dan anak-anak perempuan kandung masing-masing
mendapat 1/5 bagian.
Dalam bingkai pemikiran Hazairin,
pandangan-pandangan diatas merupakan hal bau yang muncul sebagai hasil renungan
dan pemikiran atas masyarakat Indonesia. Temuan-temuan demikian niscaya hadir,
seiring lahirnya intensitas keilmuan pendukung yaitu antropologi, yang dapat
dijadikan jangkar untuk menjangkau penelitian bentuk-bentuk kemasyarakatan dan
hubungannya dengan sistem kewarisan dengan cukup kohesif. Dan titik iniah
kemudian dilakukan upaya penafsiran ulang terhadap doktrin hukum kewarisan,
agar lebih selaras dengan kemajuan ilmu dan keadaan masyarakat di Indonesia,
sehingga tidak ada istilah helah (hiyal) hukum lagi dalam dataran praktis.
Harus diakui bahwa seandainya
pendapat di atas diterima secara penuh maka jelas akan mempunyai implikasi
serius dalam hukum kewarisan islam. Pandangan hazairin tentang sistem waris
bilateral ini merupakan horizon dan teori baru dalam sistem kewarisan Islam.
Lebih dari itu, ia telah membongkar konsepsi-konsepsi hukum kewarisan islam
yang terdapat dalam berbagai magzhab hukum Islam, baik sunni maupun syi’i.
Menurut beberapa penulis, diantara pemikir hukum islam indonesia, hanya baru
Hazairin yang mampu menghasilkan teori yang demikian original. Keadaan ini,
memungkinkannya disebut sebagai mujtahid f al-asyya’, yakni sosok mujtahid yang
dalam baas-batas tertentu memakai konsep dan metode sendiri, serta mampu
menghasilkan teori baru bagi pengembangan hukum islam, yang berbada sama sekali
dengan rumusan-rumusan yang telah lebih dahulu ada (muncul).
B. Pemikiran Hukum Azairin tentang Waris dan Wasiat Dalam Hukum Islam
Hazairin adalah seorang pembela
hukum Islam yang gigih. Meski hidup dan pendidikannya banyak dihabiskan dalam
dunia pendidikan umum, namun Islam yang dipelajarinya secara autodidak justru
telah mengharumkan namanya dengan julukan sebagai tokoh pembaharu hukum Islam
modern. Dia menyimpulkan bahwa sistem kemasyarakatan yang dikehendaki al Qur’an
adalah sistem yang bukan berklan-klan atau anti unilateral. Kesungguhan
berpikir yang telah dihasilkan Hazairin, di satu sisi terkadang dianggap
sebagai pendapat yang kontroversial, namun di sisi lain terobosan barunya ini
justru telah diirealisasikan melalui sejumlah aturan perundang-undangan.
membandingkan ide antara Hazairin
dan Munawir Sjadzali tentang warisan dan wasiat dalam hukum Islam. Berbeda
dengan pandangan mayoritas ahli hukum Islam, Hazarin dan Sjadzali menyatakan
bahwa sistem kewarisan Islam di bilateral individu, seperti yang akan para
peneliti menjelaskan dalam makalah ini. Para peneliti juga akan menjelaskan
perbedaan dalam pendekatan antara kedua tokoh adalah pencetus sekolah Indonesia
yurisprudensi. Akhirnya, dapat dilihat bahwa kedua Hazarin dan Sjadzali ingin
setiap bagian dari waris dan wasiat antara pria dan wanita.
Masalah hukum kewarisan
Islam adalah sebagian dari sekian masalah serius tentang hukum Islam yang harus
diselesaikan. Di bawah kerancuannya fiqih waris sulit dipahami dan telah
menjadi kegelisahan umat Islam untuk berada dalam satu pandangan Islam dan
mneganut hukum waris yang seragam. Kondisi ini telah menyentuh titik rawan,
yaitu problematika perpindahan harta antar generasi. Oleh karena itu, perlunya
pembaruan hukum kewarisan Islam yang bercorak ke-Indonesiaan. Berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian ini, bahwa KHI sebagai hukum tertulis yang
diberlakukan sebagai pedoman khusus bagi umat Islam dalam menyelesaikan segala
permasalahan hukum termasuk mengenai pembaruan hukum kewarisan Islam di
Indonesia. Di dalam hukum Islam terdapat asas keadilan dan keseimbangan. Hazairin
dan Munawir Sjadzali berupaya membaca kembali teks-teks ayat al-Qur'an dan
sunnah dengan melakukan pemahaman baru terhadap masa konteks turunnya ayat-ayat
al-Qur'an dan sunnah tersebut, untuk kemudian ditata kembali berdasarkan
tuntunan konteks yang baru. Oleh karena itu, dalam upaya untuk menghasilkan
hukum waris Islam yang komprehensif dan perkembang secara konsisiten yang
didasarkan pada metode istinbat yang sistematis serta dapat dijadikan landasan
bagi formulasi hukum waris Islam masa kini dan masa mendatang, serta untuk
menjaga kebenaran ajaran al- Qur'an dan bisa mengikuti modernisasi, maka perlu
ada pembahasan atau penkajian yang obyektif serta menganalisis lebih metode
istinbat yang dipakai Hazairin dan Munawir Sjadzali dalam memperbaharui hukum
waris Islam di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah berdasarkan analisis deskriptif-komparatif dengan teknik pengumpulan
data melalui penelaahan pustaka yang disesuaikan dengan pokok pembahasan.
Sedangkan dalam menganalisis data yang terkumpul adalah dengan cara
deduktif-induktif. Adapun pendekatannya melalui ulum al-hadis dan usul fiqih
untuk menilai sejauh mana kesahih{an hadis yang digunakan dalil dalam istinbat.
hukum dari kedua mazhab diatas dan kaidah-kaidah usul yang dipakai dalam metode
pentarjihan hukum. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Hazairin berpendapat
bahwa sistem kewarisan menurut al-Qur'an termasuk jenis yang individual
bilateral.Secara umum, harapan Hazairin dari formulasi baru di bidang hukum kewarisan
yang ia tawarkan adalah adanya pembaruan hukum Islam di Indonesia. Hazairin
menamakan kajiannya dalam rangka pembaruan hukum Islam itu sebagai ijtihad baru
atau mazhab nasional Indonesia, sedangkan Munawir Sjadzali menganggap formulasi
warisan 2:1 dianggap tidak qat'i, benar tidaknya ketentuan itu harus diukur
sejauh mana ia mencerminkan keadilan-keadilan sebagai muhkamat universal.
C. Pemikiran Hazairin tentang Demokrasi Pancasila
Pada 27 hingga 30 Desember 1968,
diadakan “Seminar Hukum Nasional II” yang diadakan oleh Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) untuk membahas bagaimana konsep untuk
menegakkan negara hukum di Indonesia. Para ahli hukum berkumpul untuk
merumuskan konsep detail mengenai negara hukum, termasuk membicarakan sebuah
topik yang disebut “Demokrasi Pancasila”. MPRS, melalui TAP MPRS XXXVII/1968
memang sudah menyinggung istilah itu. Namun, istilah itu tak diajukan sebagai
konsep, sehingga tidak mengandung rumusan. Persis di situ perbincangan dalam
seminar tersebut menjadi penting.
Hazairin, yang terlibat dalam
seminar tersebut, pada 1969 menulis sebuah buku berjudul “Demokrasi Pancasila”.
Dalam buku itu ia melakukan kritik terhadap sejumlah pendekatan yang berkembang
pada masa itu yang mencoba melakukan konseptualisasi “Demokrasi Pancasila”.
Melalui bukunya, Hazairin mencoba mengemukakan konsepnya sendiri. Secara teknis
konsep yang dikemukakannya merupakan turunan dari sistem negara hukum
sebagaimana yang ditetapkan setelah Proklamasi, dan secara filosofikal
merupakan interpretasi filsafat hukum terhadap gagasan Pancasila.
Sosok Hazairin layak dikenang karena
sering kali orang menyebut bahwa “Demokrasi Pancasila” adalah ciptaan Orde
Baru, dan bahkan menganggap bahwa konsep itu artinya tak lain adalah praktik
tata pemerintahan sebagaimana yang berlangsung pada masa rezim tersebut,
sepenuhnya merupakan produk pemikiran stigmatik. Dan pemikiran itu tentu saja
keliru. Pandangan yang secara sembrono menyebut bahwa istilah “Demokrasi
Pancasila” adalah ciptaan Orde Baru, yang dibuat untuk melegitimasi praktik
politik totalitarian rezim tersebut, juga menunjukkan betapa cara pandang
sarjana-sarjana kita pada umumnya masih bersifat stigmatik, dan bukannya
analitik. Meskipun mereka yang memiliki anggapan ini merupakan kelompok yang
sangat kritis, baik di masa lalu maupun masa kini, namun ironisnya modus
berpikir mereka seringkali justru merepro modus berpikir dari rezim yang sering
mereka kritik dan bahkan benci itu: stigmatik dan stereotipis.
Sebagai seorang nasionalis pimpinan
perjuangan kemerdekaan bangsa ataupun sebagai Administrator Fungsionaris
Pemerintah Republik Indonesia, Hazairin memberikan teladan “Tokoh” yang
dibanggakan, karena wibawa, ilmu dan alimnya. Kalau disimpulkan hal itu
disebabkan dua perkara, pertama karena beliau sebagai sarjana hukum sangat
menguasai bidangnya (hukum dan pemerintah), kedua karena kehidupan yang alim
dan saleh dan tidak pernah meninggalkan sholat dimanapun beliau berada.
PENUTUP
Hazairin
memakai metode induktif dan deduktif secara serentak di dalam menginterprestasikan teks Al-Qur’an dan
Hadist. Dengan model seperti itu ia memandang qiyas lebih sebagai kegiatan
penalaran daripada sebagai dalil atau sumber itu sendiri.
Potret yang ditawarkan Hazairin
adalah dalam medan hukum kewarisan. Menurutnya, konsep hukum kewarisan Islam
yang selama ini berjalan dengan menganut sistem patrilineal(menarik keturunan
hanya dari arah laki-laki saja). Itu sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya
Timur Tengah Arab yang juga demikian. Hukum kewarisan dalm al-Qur’an, bagi
Hazairin, esensinya menganut sistem biletral yakni menarik dari pihak ayah dan
ibu.
Pemikiran ini muncul setelah ia
melakukan penelitian atas ayat-ayat al-Qur’an tentang waris, dan melakukan
hipotesis (dugaan) bahwa bukan masyarakat yang berclan atau parilinial yang
dikehendaki dial-Qur’an, melainkan yang dikehendaki masyarakat bilateral.
Hipotesis ini didasarkan dan dilatarbelakangai oleh fenomena perkawinan sahabat
Alidan putra nabi, Fatimah az-Zahra, yang dibenarkan oleh al-Qur’an. Dalam
pandangan masyarakat ber-clan sebagaimana terjadi di Arab sebelum datangnya Islam, perkawinan
seperti ini disebut eksogami, jarang sekali
silakukan dianggap tabu, dan karena itu tidak dapat dibenarkan.
Pemikiran hukum kewarisan bilateral yang ada dalam al-Qur’an
ini telah memunculkan perspektif sekaligus pandangan baru dalam rangkaian
detail dan turunan angka pembagian harta warisan.
[1]
Sayuti Thalib, Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia: in Memoriam Prof. Mr. dr. Hazairin, (Jakarta: UI
Press,tt).
[2]
Syamsul Wahidin dan
Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Presindo, 1984) hal, 87-88.
[6]
Hazairin, Hukum
Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadist, (Jakarta: Tintamas, 1982),
hal. 62.
Daftar Pustaka
Hazairin, Demokrasi Pancasila,
(Jakarta: tintamas, 1973)
Hazairin, Hukum Kekeluargaan
Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1982)
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral
menurut Qur’an dan Hadist, (Jakarta: Tintamas, 1982)
K.N. Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro, Dasar-dasar
Demokrasi Pancasila (Jakarta: Raja Grafindo, 1993)
Sayuti Thalib, Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia: in Memoriam Prof. Mr. dr. Hazairin, (Jakarta: UI
Press,tt).
Syamsul Wahidin dan Abdurrahman, Perkembangan
Ringkas Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 1984)
