ABDURRAHMAN WAHID DALAM PEMIKIRAN POLITIK HUKUM ISLAM
Oleh : Al faury
Tidak seperti para pembaru hukum
Islam lainnya, metodologi ijtihad hukum Islam Gus Dur nyaris tidak dapat
ditemukan dalam buku yang secara spesifik membahasnya. Bahkan hal ini juga
terjadi pada para intelektual Islam lainnya yang tergolong kaum modernis awal
yaitu antara 1970-an sampai 1980-an.[1]
Menurut Marzuki Wahid,
anggapan seperti ini tidak dapat disalahkan, sebab perhatian mereka sendiri
yang memaksa demikian untuk menyikapi realitas sosial, politik, dan ekonomi
ketika Orde Baru secara sistematis dan terus- menerus malakukan intervensi
secara berlebihan terhadap umat Islam dan bentuk -bentuk pengamalan
keagamaannya. Oleh karena itu, menurut Wahid, aspek metodologis dan substansi
ajaran Islam atau sumber-sumber pengambilannya yang selama ini disakralkan
tidak terjamah oleh pembaruan mereka. Kalaupun masuk, lanjut Wahid, mereka
berhenti pada kritik bangunan (sejarah) pemikiran Islam masa lampau tanpa
memberikan tawaran baru yang berarti. Isu-isu yang menjadi label pemikiran
mereka tidak dilengkapi dengan kerangka metodologi dan epistemologi yang cukup
atau belum tuntas. Mareka, sejauh ini, hanya mengadvokasi betapa pentingnya
kontekstualisasi, reaktualisasi, reinterpretasi, dan pribumisasi maupun tema
sejenis (sebagai pendekatan ijtihad), tanpa memberikan bukti contoh
(rekonstruksi) pemikiran Islam baru seperti apa yang tepat untuk zaman ini.[2]
Namun demikian, pendekatan ijtihad oleh sarjana-sarjana Indonesia ini dianggap
lebih mendalam, karena mereka mengawinkan keserjanaan Islam klasik dengan
metode-metode analitik modern Barat.[3]
Namun demikian, bukan berarti hal
tersebut tidak dapat dilacak secara keseluruhan. Sebab, dalam kaitannya dengan
bangunan metodologi ijtihad hukum Islam Gus Dur, menurut penyusun, banyak
sekali tertuang dalam berbagai artikel ataupun tulisan-tulisan dalam bentuk
lain. Dalam melaksanakan pembaruan hukum Islam yang sesuai dengan tuntutan
zaman, akurat dan faktual, pada hasil pelacakan terhadap ijtihad Gus Dur, dia
menggunakan dua metode ijtihad, yaitu sebagai berikut:
1. Metode Istislahi
Dari segi metodologi
pembaruan hukum Islam, Menurut John L. Esposito, seringkali pembaharuan
dilakukan melalui metode Istislāh dan Adat atau ‘Urf. Keduanya
dipandang paling sesuai, karena memberikan kesempatan yang luas untuk
berijtihad dan dengan jelas menekankan pada tujuan hukum Islam itu sendiri,
yaitu keadilan dan kemaslahatan.[4]
Istislāh dapat
disebut juga dengan al-maslahah al-mursalah yang berarti kemaslahatan
yang terlepas. Said Ramadhan al-Buthi berpandangan bahwa al-maslahah
al-mursalah adalah setiap manfaat yang termasuk dalam maqāsid al-syari’,
baik ada nash yang mengakui maupun menolaknya.[5]
Dan Abu Zahrah mendefinisikan al-maslahah al-mursalah dengan
kemaslahatan yang sejalan dengan maksud syari’, tetapi tidak ada nash
secara khusus yang memerintahkan dan melarangnya.[6]
Sementara al-Ghazali menyatakan bahwa al-maslahah adalah mengambil
manfaat dan menolak mudarat dalam rangka memelihara tujuan syara’ (al-kulliyāt
al-khams).[7]
Dari beberapa definisi tersebut di
atas, maka dapat ditegaskan bahwa istislāh merupakan kemaslahatan yang
sejalan dengan apa yang terdapat dalam nash, meskipun secara khusus nash tidak
memerintahkan atau melarangnya. Atau dapat juga diartikan sebagai penetapan
hukum suatu masalah yang semata-mata berdasarkan pertimbangan maslahat dan
menolak mafsadat bagi kehidupan umat manusia. Dengan demikian, maka
Ijtihad Istislāhi dapat didefinisikan dengan mencurahkan segala
kemampuan untuk menentukan hukum berbagai masalah baru yang didasarkan pada
kemaslahatan yang tidak disebutkan secara tegas dalam nash.
Dalam pandangan Yusuf
al-Qardhawi, ijtihad istislāhi merupakan istilah lain dari ijtihad
kontemporer yang merupakan hasil gabungan dari ijtihad intiqā’i, yaitu
ijtihad yang dilakukan dengan cara menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang
dipandang lebih sesuai dan lebih kuat; dan ijtihad insyā’i, yaitu
mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, di mana permasalahan
tersebut baik baru maupun lama belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu.
Sehingga makna gabungan ijtihad intiqā’i dan ijtihad insyā’i adalah
menyeleksi pendapat para ulama terdahulu yang dianggap sesuai dan lebih kuat,
dengan memasukkan unsur-unsur ijtihad baru.[8]
Ada empat faktor yang
menjadi tujuan dan pendorong bagi para fuqaha menggunakan metode istislāh dalam
menetapkan hukum baru sesuai dengan perintah syara’ sehingga akan terwujud
hasil yang terbaik dalam rangka memperbarui hukum-hukum sosial, sebagaimana
disebutkan oleh al-Zarqa’,[9]
Keempat faktor tersebut adalah :
a.
Jalb al-masālih (menarik maslahat), yaitu perkara-perkara yang
diperlukan masyarakat dalam membangun kehidupan manusia di atas pondasi yang
kokoh.
b.
Dar al-mafāsid (menolak mafsadat), yaitu perkara-perkara yang
memadaratkan manusia baik secara individu maupun kelompok, baik berupa materi
maupun moral.
c.
Sadd al-zarā’i (menutup jalan), yaitu menutup jalan yang dapat membawa
kepada menyia-nyiakan perintah syara’ dan memanipulasinya, atau dapat membawa
kepada larangan syara’ meskipun tanpa disengaja.
d.
Tagayyur al-azmān (perubahan zaman), yaitu kondisi manusia,
akhlak-akhlak, dan tuntutan-tuntutan umum yang berbeda dari masa sebelumnya.
Pada dasarnya mayoritas ahli usul
fiqih menerima metode maslahāt mursalāt atau istislāh. Untuk
menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Imam Malik
memberikan persyaratan sebagai berikut:[10]
a.
Maslahat tersebut bersifat reasonable (masuk akal) dan
relevan (munāsib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.
b.
Maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan
menghilangkan kesulitan (rad’u al-harāj), dengan cara menghilangkan masyaqqāt
dan madharrāt.
c.
Maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud disyari’atkan hukum (maqāshid
al-syarī’ah) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.
Sementara itu Al Ghazali menetapkan
beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan sebagai penemuan hukum.[11]
1.
Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyāt. Artinya bahwa
untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan,
apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum
sampai pada batas tersebut.
2.
Kemaslahatan itu bersifat qath’i, artinya yang dimaksud dengan maslahat
tersebut benar-benar telah diyakini sebagai maslahat tidak didasarkan pada
dugaan (zhān) semata-mata.
3.
Kemaslahatan itu bersifat kullī, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku
secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat itu
bersifat individual maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat
itu sesuai dengan maqāshid al-syarī’ah.
Secara ringkas, dapat dikatakan
bahwa metode penemuan hukum dengan istislāh itu difokuskan terhadap
lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah yang
menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibār. Juga
difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijmā’ atau qiyās
yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislāhi
seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn
Affan, khalifah ketiga. Hal itu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmā’,
melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara’ untuk
mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al-Quran.[12]
Dalam hubungannya dengan
legislasi Al-Qur’an, yang dalam metodologi Arab biasanya digunakan istilah tasyrī’
yaitu pernyataan Al-Qur’an yang bermuatan hukum. Dalam pandangan Gus Dur,
meskipun Al-Qur’an mengandung beberapa pernyataan aturan hukum yang penting,
tetapi menurutnya hal itu hanya seruan moral saja, bukan sebuah kitab dokumen
hukum. Oleh karena itu, legislasi Al-Qur’an dapat diamati secara jelas menuju
seruan moral tersebut, yaitu menuju terciptanya keadilan sosial bagi
masyarakat.[13]
Gus Dur berusaha menciptakan dan membuktikan pesannya itu dengan sejumlah
legislasi dalam Al-Qur’an dalam bidang perkawinan, riba, zakat, hukum
perbudakan (slavery) yang banyak menghiasi Al-Qur’an dan Hadis.[14]
Dan beberapa bidang lainnya yang semua bertujuan untuk mengangkat derajat
manusia menuju terwujudnya kondisi yang lebih baik dan menciptakan persamaan
esensial derajat manusia sebagaimana merekat pada doktrin Aswaja (Ahlussunnah
wal jamā’ah).[15]
Menurut pandangan KH. Abdurrahman
Wahid, orientasi paham ke-Islaman sebenarnya adalah kepentingan orang kecil
dalam hampir seluruh persoalan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan memahami
secara mendalam kedudukan maslahah al-’āmmah yang berarti kesejahteraan
umum dalam Islam. Wahid melanjutkan, hal tersebut seharusnya yang menjadi objek
segala macam tindakan yang diambil oleh seorang ulama atau pemirintah.
Dalam masalah fiqih, terkait hal di
atas, Gus Dur memandang bahwa dalam fiqih selalu dikemukakan keharusan seorang
pemimpin mementingkan kesejahteraan rakyat, sebagai tugas yang harus
dilaksanakan.[16]
Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam kaidah:
تصرّف الإمام على الرّعيّة منوط باالمصلحة
“Tindakan Imam
terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa
dalam Islam tujuan berkuasa bukanlah kekuasaan itu sendiri melainkan
kemaslahatan (maslahah al’ammah).[17]
Dengan demikian, menurutnya, tingginya kesejahteraan suatu bangsa menjadi
sesuatu yang sangat esensial dalam Islam.
Adapun yang tidak terkait langsung
dengan kepentingan orang banyak dapat dilihat dalam adagium lain yaitu:
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindarkan kesusahan/kerugian
diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan”.
Menurut Gus
Dur, hal tersebut mengandung pengetian bahwa menghindari hal-hal yang merusak
umat lebih diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka. Dengan
demikian, menurut Gus Dur, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti dari
pada mendatangkan kebaikan.[18]
Sebab, lanjut Gus Dur, adagium inilah yang digunakan Gus Dur dalam menerima
pencalonan dirinya oleh Amin Rais sebagai Presiden beberapa tahun yang silam.
Sebab, keduanya meyakini bahwa bangsa ini pada saat itu belum dapat menerima
seorang wanita (Megawati) sebagai Presiden, sehingga dikhawatirkan akan terjadi
perang saudara.
Metodologi pemikiran Gus Dur
sebagaimana telah disebutkan di atas adalah identik dengan konsep pemikiran
para ahli ushul fiqh yang terdapat dalam beberapa kitab metodologi hukum Islam,
yakni konsep tujuan penetapan hukum (al-maqāshid al-syari’āt). Konsep
ini tidak jauh berbeda dengan konsep pemikiran Gus Dur tentang keadilan (al-‘adālah
al-ijtimā’iah). Seluruh konsep-konsep metodologi Gus Dur dirumuskan dalam
dua upaya metodis yang masing-masing terdiri dari serangkaian kerja
intelektual.
Upaya pertama pada dasarnya
merupakan perjalanan dari tiga pendekatan pemahaman pada penafsiran Al-Qur’an,
yakni pendekatan historis, pendekatan kontekstual, dan pendekatan sosiologi.
Upaya pertama ini lebih dukhususkan terhadap ayat-ayat hukum dengan metode
berfikir induktif, yakni berfikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju
kepada moral sosial, yang bersifat umum yang terkandung di dalamnya.
Di sini (pendekatan pertama)
terdapat dua “perangkat lunak” untuk dapat menyimpulkan prinsip moral sosial,
yaitu: pertama, perangkat ‘illat hukum (ratio logis)
dinyatakan oleh Al-Qur’an secara eksplisit, yang dapat diketahui dengan cara
menggeneralisasikan beberapa ungkapan spesifik. Kedua, perangkat sosio
historis, berfungsi untuk menguatkan ‘illat hukum implisit untuk
menetapkan arah tujuannya. Sedangkan upaya kedua merupakan upaya perumusan
prinsip-prinsip umum, nilai- nilai dan tujuan Al-Qur’an yang telah
disistematikan melalui upaya tadi terhadap situasi dan kasus aktual yang
terjadi sekarang.
2. Pendekatan
Sosio-Kultural
Interpretasi terhadap teks-teks
agama (Al-Qur’an dan al-Hadis), bagi wacana agama merupakan salah satu
mekanisme -jika bukan yang terpenting- untuk melontarkan konsep-konsep dan
pandangan-pandangannya. Sedangkan interpretasi yang sesungguhnya adalah yang
menghasilkan makna teks, menuntut pengungkapan makna melalui analisis atas
berbagai level konteks. Namun wacana agama biasanya cenderung mengabaikan
keseluruhannya, demi memprotek pelacakan makna yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam pandangan Gus Dur, ajaran
Islam senantiasa berubah melalui perubahan zaman, dengan menggunakan cara
tertentu. Di antara cara tertentu itu, adalah penafsiran ulang
(re-interpretasi) oleh kaum muslimin sendiri, atas sesuatu yang tadinya
diterima sebagai kebenaran tetap oleh mereka. “Kebenaran relatif” itu lalu
berubah dengan adanya penafsiran ulang itu.
Dalam pandangan Gus Dur, bahwa masih
banyak penafsiran lain tentang hal tersebut di atas. Dia melanjutkan, di
sinilah sangat terasa kegunaan sebuah adagium “perbedaan pendapat para pemimpin
adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmatu al-ummah).
Menurutnya, kalau umat Islam berpegangan pada adagium ini, maka yang dilarang
hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita. Sekarang, bila sebuah
hukum agama sudah ada dalam sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits (qath’iyah
al-tsubût), sementara keadaan membutuhkan penafsiran baru. Kemudian apakah
yang harus diterapkan dalam hal seperti itu? Dalam hal ini, kita menggunakan
sebuah kaidah hukum Islam (qa’idah al-fiqh), bahwa keadaan tertentu
dapat memaksakan sebuah larangan untuk dilaksanakan (al-dharûratu tubîhu
al-mahdhûrât).
Namun demikian, menurut Gus Dur,
interpetasi yang dilakukan pada ‘ulama kontemporer cenderung memiliki banyak
kelemahan. Untuk memenuhi kelemahan yang terdapat metode interpretasi
sebagaimana dijelaskan tersebut, Gus Dur menggagas suatu pendekatan yang
disebut pendekatan sosio-kultural.
Pendekatan ini menurut Gus Dur
adalah sebagai alat pembantu dalam menunjukkan konteks sosial terkait penerapan
suatu hukum, yaitu dengan menganalisis aspek-aspek lokal yang dapat ditampilkan
dengan wajah yang ramah terhadap budaya lokal dan persoalan-persoalan
keIndonesiaan, khususnya problema pluralitas agama dan kepercayaan, yaitu
dengan cara menerapkan metode ushul fiqh dan al-qawā’id al-fiqhiyah
dalam memahami teks dan konteks.
Dengan kata lain, Gus Dur
menggunakan pendekatan sosio-kultural ini sebagai
alat pembantu dalam menunjukkan konteks sosial terkait penerapan suatu hukum.
Hal ini bertujuan untuk memberikan perspektif baru
terhadap teks. Maksudnya, teks dipahami dari konteks dan sosio-kultural di mana
ia menjadikan manusia sebagai subjek penafsiran keagamaan. Hal ini ditujukan
untuk memperpendek jarak antara teks dan realitas.
Sangat terkenal dalam hal ini hukum
agama (fiqh) mengenai Keluarga Berencana (KB), yang bersifat rincian dan
mengalami perubahan-perubahan. Adapun polemik yang muncul adalah terkait
penafsiran ulang atas ucapan Rasulullah Saw yang artinya: “Maka Aku
(akan) membanggakan kalian (di hadapan) umat-umat (lain) pada hari kiamat (fainnî
mubâhin bikum al-umam yauma al-qiyâmah)”.
Dalam penafsiran lama, kaum
muslim mengartikan kebanggaan beliau itu bertalian dengan jumlah (kuantitas)
kaum muslimin, hingga merekapun memperbanyak jumlah anak. Tafsiran ulang
yang baru, yang didukung oleh kenyataan meluasnya program Keluarga
Berencana (KB) di kalangan kaum muslimin, minimal di negeri ini, menunjuk
pada arti lain dari apa yang dibanggakan itu: kebanggaan akan mutu
(kualitas) kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, Islam dapat berkembang
sesuai dengan perubahan tempat dan waktu (Shālihun li kulli zamânin wa
makânin).
Gus Dur lebih lanjut menjelaskan
bahwa persoalan KB sebelumnya sama sekali ditolak, padahal waktu itu ia adalah
satu-satunya cara untuk membatasi peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah
program ini sebagai campur tangan manusia dalam hak reproduksi manusia yang
berada di tangan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Namun, kemudian manusia
merumuskan upaya baru untuk merencanakan kelahiran (tanzīm an-nasl atau family
planning) sebagai ikhtiar menentukan jumlah penduduk sebuah negara pada
suatu waktu. Dengan demikian, dipakailah cara-cara, alat-alat dan obat yang
dapat dibenarkan oleh agama, seperti pil KB, kondom dan sebagainya. Penggunaan
metode dan alat-alat tersebut sekarang ini, dilakukan karena ada penafsiran
kembali ayat suci dalam upaya mengurangi jumlah kenaikan penduduk dari
pembatasan kelahiran (birth control) ke perencanaan keluarga (family
planning).
Contoh sederhana di atas, jelas
menunjukkan bahwa menurut Gus Dur proses penafsiran ulang tersebut merupakan
upaya yang sangat penting. Tanpa kehadirannya Islam akan menjadi agama yang
mengalami “kemacetan”. Hal itu menyalahi ketentuan agama itu sendiri yang
tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk segenap tempat dan masa (al-Islâm
yasluhu li kulli makânin wa zamânin).”
Lahirnya Teori “Pribumisasi Islam”
merupakan kritik terhadap cara berteologi yang berkembang dikalangan
intelektual muslim Indonesia, yang menurut Abdurrahman Wahid tidak mampu
menjawab akar persoalan kemiskinan yang lebih disebabkan oleh struktur sosial
dan politik yang timpang.
Untuk mengatasi kebuntuan peran
kritis agama tersebut, Abdurrahman Wahid mengkontruksikan sebuah cara
berteologi yang di satu sisi tetap berpijak pada ortodoksi dan di sisi lain
terkait denagan ortopraksis. Teologi ini melihat peran agama kepada manusia
dalam dua hal, yaitu teologi positif (amar ma’ruf) dan teologi negative (nahi
mungkar). Teologi positif berfungsi untuk mendorong etos kerja manusia sebagai
khalifah Tuhan di dunia. Sedangkan teologi negative diletakkan dalam kerangka
kritik sosial terhadap struktur dan praktik-praktik yang menagrah pada proses humanisasi. Dalam mengkotruksi Pribumisasi Islam ini, Abdurrahman Wahid,
setidaknya, melakukan pembacaan terhadap Islam (normatif) dalam tiga hal, yaitu
Islam sebagai kerangka nilai, model pembacaan pribumisasi terhadap wahyu dan
realitas, dan akhirnya menempatkan pribumisasi Islam sebagai Islam yang
memihak.
Gagasan Pribumisasi Islam yang
dimaksud Gus Dur adalah wahyu Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan
faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya.
Pribumisasi Islam perlu dipahami sebagai sebuah usaha untuk melakukan
“rekonsiliasi” atau mendialogkan Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya lokal.
Tujuannya agar kedatangan Islam tidak menghilangkan budaya local yang memiliki
sifat orisinil.
Menurut Gus Dur, Pribumisasi harus dilihat sebagai
sebuah kebutuhan, bukannya sebagai upaya mensubordinasi Islam lokal, karena
dalam pribumisasi Islam harus tetap ada sifat Islamnya. Pribumisasi Islam juga
bukan semacam “Jawanisasi” atau sinkretisme, sebab Pribumisasi Islam hanya
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan budaya local didalam merumuskan
hokum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan
norma agama itu demi budaya. Tetapi agar norma-norma itu menampung
kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan
variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul figh dan
qaidah fiqh.
Penulis memandang, gagasan “Pribumisasi Islam” ini
bisa dikatakan sebagai benang merah dari pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
tentang Islam. Penolakan terhadap upaya syari’atisasi Islam, formalisasi Islam,
dan ideologi Islam yang menggiring pada upaya pembentukan Negara Islam
sebenarnya bisa dirujuk dari bagaimana Gus Dur memahami Islam dalam kaitannya
dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Islam memiliki
nilai-nilai yang bersifat universal, yang harus disepakati oleh seluruh
umatnya. Namun dalam implementasinya diruang sejarah kemasyarakatan, baik itu
berkaitan dengan massalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya, Islam bisa
tampil berbeda antara didaerah satu dan daerah lainnya. Itu terjadi karena
terjadi proses rekonsiliasi antara nilai-nilai Islam dengan kekuatan yang
bersifat lokal.
Dengan demikian, gagasan Gus Dur tentang pribumisasi Islam itu tidak lain
adalah upaya pembaharuannya yang mempertegas perspektif gerakan cultural dan
gerakan kemasyarakatan, yang lebih popular dengan sebutan membangun civil
society yang bersifat komolementer dan mendukung sebuah Negara pancasila yang
telah dimulai oleh para bapak pendiri bangsa (founding father).
DAFTAR ISI
-
Wahid, Abdurrahman. 2000. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS
-
Barton, Greg. 1990. Gagasan Islam Liberal di Indonesia,
Pemikiran Neo-Modernisme Nurkholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan
Abdurrahman Wahid 1968-1980. Jakarta: Kerjasama Paramadina dengan Pustaka
Antara, Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford Foundation.
-
al-Buthi, Said Ramadhan.1977. Dhawabit al-Maslahah fi al-Syari‟ah
al-Islamiyyah. Beirut: Muassasah al-Risalah
-
Al-ghozali, Abu Hamid. 1983. Al-Mustaashfa fi ‘Ilm al-Ushul, Jilid. I.,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
-
Ahmad al-Zarqa, Musthofa. 2000. Hukum dan Perubahan Sosial : Studi
Komperatif Delapan Mazhab Fiqh, alih bahasa Ade Dede Rohayana, Jakarta:
Riora Cipta.
-
Wahid, Abdurrahman. 2007. “Konsep-Konsep Keadilan”, epilog dalam Nurchlish
Madjid dkk, Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-
Cipto Sembodo, “Problematika Pembaruan Hukum Islam”, dalam http://orientalismehukumIslam.blogspot.com/2010/09/problematika-pembaharuan-hukum-Islam.html.
[3] Greg Barton, Gagasan Islam
Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurkholish Madjid,
Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid 1968-1980,
(Jakarta: Kerjasama Paramadina dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI,
dan The Ford Foundation, 1990), hal. 12
[4] Cipto Sembodo, “Problematika
Pembaruan Hukum Islam”, dalam http://orientalismehukumIslam.blogspot.com/2010/09/problematika-pembaharuan-hukum-Islam.html.
[5] Said Ramadhan al-Buthi, Dhawabit
al-Maslahah fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1977), Cet. ke-3, hal. 330
[7] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustaashfa
fi ‘Ilm al-Ushul, Jilid. I., (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983),
hal. 286
[9] Musthafa Ahmad al-Zarqa, Hukum
dan Perubahan Sosial : Studi Komperatif Delapan Mazhab Fiqh, alih bahasa
Ade Dede Rohayana, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), hal. 42
[11] Al-Ghazali, al-Mustasyfā min
‘Ilmi al-Ushūl, Jilid II, Sayyid al-Husein, Kairo, tt, hlm. 364 367
[13] Abdurrahman Wahid, “Konsep- Konsep
Keadilan”, epilog dalam Nurchlish Madjid dkk, Islam Universal, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hal. 330-338
